MAKALAH
POTRET IDEOLOGI PATRIARKI DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU
UTAMI DAN NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI

Oleh
Andri Rizki/NIM 15017059
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA (NK)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2018
PENDAHULUAN
Karya sastra mengandung representasi
kehidupan nyata. Nurgiyantoro (2010: 3) menyatakan bahwa karangan fiksi
menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksi dengan
lingkungannya dan terhadap diri sendiri, serta interaksinya terhadap Tuhan. Dalam
karya sastra terdapat beberapa unsur kehidupan yang digambarkan berdasarkan
realitas. Salah satu unsur kehidupan yang terkandung dalam karya sastra ialah
feminisme.
Apriyana (2016: 6) menyatakan bahwa dalam
karya sastra, feminisme berhubungan dengan masalah kebebasan dan keterpaksaan
tokoh wanita dalam berbagai bidang kehidupan. Selain itu dalam penelitian feminisme
juga harus memperhatikan konstruksi budaya dari pria dan wanita. Penyetaraan
gender antara pria dan wanita dapat dilihat secara jelas dalam penelitian
feminisme. Selain itu, terdapat berbagai macam permasalahan yang ada dalam
lingkup feminisme itu sendiri. Salah satu yang sering tampak di tengah
masyarakat ialah ideologi patriarki. Sebuah ideologi yang menganggap laki-laki
mempunyai hak lebih terhadap perempuan dalam segala aspek. Sebagai contohnya,
pada aspek berumah tangga suami memperlakukan istrinya sebagai pembantu rumah
tangga yang tidak diberi kebebasan sedikit pun. Bentuk feminisme dalam karya
sastra seperti yang telah dipaparkan di atas tidak hanya terdapat di Indonesia,
akan tetapi negara-negara lain juga mengalami hal yang serupa. Namun, antara
satu negara dengan negara lain pastilah memiliki beberapa perbedaan
permasalahan. Salah satu teori yang bisa dijadikan dasar untuk mengetahui
perbedaan itu ialah teori sastra bandingan.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dalam
penelitian sastra dibutuhkan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang
diangkat. Pada makalah ini, akan dipaparkan penjabaran mengenai perbandingan
potret ideologi patriarki dalam novel Saman karya Ayu Utami dengan novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El
Saadawi.
KAJIAN
TEORI
Feminisme
Susanto
(2016:179) mengatakan bahwa persoalan yang kerap muncul dalam sastra yang
berhubungan dengan perempuan di antaranya adalah (1) perempuan jarang atau pun
bahkan hampir tidak pernah disebutkan dalam sejarah sastra, (2) umumnya
perempuan dihadirkan dengan berbagai cara yang merjan perempuan dalam karya
sastra, dan (3) penulis perempuan selain dipandang sebagai kelas minor atau
kelompok kedua dalam tradisi sastra. Setiap persoalan yang dijabarkan di atas
mempunyai indikasi tersendiri, seperti persoalan pertama yang mengindikasikan
bahwa intelektualitas dan peran perempuan dalam membangun sejarah peradaban
ditiadakan. Persoalan kedua memiliki implikasi pada representasi perempuan,
yakni stereotip, negatif, dan sebagai kelompok yang termarginalkan. Beberapa
persoalan tersebut merupakan contoh dalam pembahasan mengenai perempuan dan
sastra. Berdasarkan persoalan di atas, muncul gerakan perubahan yang bertujuan
membongkar dan membalikkan paham androsentrisme ataupun patriarkat, yakni suatu
paham ataupun pemikiran yang mengutamakan kekuasaan pada laki-laki.
Gerakan
perubahan sosial bagi perempuan ini melahirkan teori yang disebut dengan teori
feminisme. Perkembangan teori ini berbeda di berbagai negara tergantung pada
sifat, tujuan, dan model gerakan pada perempuan yang mengembangkannya. Aliran
dari gerakan feminisme ini juga beragam yakni seperi feminisme liberal,
feminisme sosial, feminis psikoanalisis, feminisme Marxis, dan lainnya.
Kritik Sastra Feminis
Kedudukan
perempuan dalam karya sastra selalu menjadi nomor ke sekian dibandingkan hal
lainnya, perempuan kerap termarginalkan oleh kaum laki-laki yang notabene telah
menguasai bidang sastra. Menurut Sugihastuti dan Suharto (dalam
Hayati 2012: 166) kritik sastra feminis merupakan sarana mengkritik yang bersifat
baru yang berangkat dari permasalahan pokok seperti anggapan perbedaan seksual.
Kritik sastra feminis ini merupakan sebuah wadah bagi “pembaca sebagai perempuan”
yang sekaligus memiliki pandangan terhadap peran perempuan dalam dunia sastra.
Perempuan dalam Budaya Patriarki
Dalam
buku Kajian Novel dalam Spektroskop
Feminisme dan Nilai Pendidikan yang ditulis oleh Suyitno, Walby (2014: 1)
menyebutkan bahwa patriarki merupakan sistem struktur dan praktis sosial yang
menempatkan kaum laki-laki sebagai kelompok yang mendominasi, melakukan opresi,
dan mengeskploitasi kaum perempuan. Lebih lanjut, Walby mengungkapkan sebagai
sebuah sistem, patriarki memiliki dua bentuk, yaitu patriarki domestik dan patriarki
publik.
Subono
(dalam Suyitno, 2014: 1) menjelaskan patriarki domestik menitikberatkan
kerja-kerja dalam rumah tangga yang menghasilkan bentuk stereotipe yang
terlekatkan pada diri kaum perempuan, sedangkan patriarki publik menghasilkan
tekanan kepada kaum perempuan melalui ketentuan-ketentuan sistemik di tempat
kerja dan pemerintahan atau negara. Dominasi patriarki ini sampai sekarang
masih menghasilkan berbagai potret suram perempuan yang sangat memprihatinkan.
Selanjutnya Walby (dalam
Suyitno 2014: 1-2) mengatakan bahwa kedua bentuk patriarki di atas bekerja
secara leluasa dalam enam struktur yang meliputi: relasi produksi patriarki
dalam rumah tangga, relasi patriarki dalam pekerjaan, relasi patriarki dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, kekerasan yang dilakukan oleh kaum
laki-laki, relasi patriarki dalam seksualitas, dan relasi patriarki dalam
instisusi-institusi budaya. Demikian juga Weedon (dalam Suyitno 2014: 2) yang
menyebutkan patriarki adalah kekuatan yang membatasi perempuan karena patriarki
merujuk kepada pengejawantahan konsep bahwa laki-laki lebih utama dibandingkan
dengan perempuan.
Dalam, pembahasan ini akan digunakan tiga teori Walby yang
dikutip (dalam Suyitno 2014: 1-2) mengenai struktur dari bentuk-bentuk patriarki
yang sesuai dengan kedua novel yang menjadi pokok pembahasan, yaitu relasi
produksi patriarki dalam rumah tangga, relasi patriarki dalam seksualitas, dan kekerasan
yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Sastra
Bandingan
Banyak pengertian atau rumusan mengenai sastra bandingan yang
utamanya menekankan perbandingan dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara
yang berbeda. Bila kita perhatikan secara terperinci maka kita akan menemukan
beberapa masalah dalam rumusan yang ada
mengenai sastra bandingan itu. (Mahayana, 2009)
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, dalam Mahayana (2009)
ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan.
“Pertama,
penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua,
penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi
bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi,
pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam
keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan sastra universal.”
Kemudian, Holman, dalam Mahayana (2009) mengungkapkan, bahwa
sastra bandingan adalah studi sastra yang menekankan perbedaan bahasa dan asal
negara dengan tujuan untuk menganalisis hubungan dan pengaruh antara karya yang
satu terhadap karya yang lain. Selanjutnya, Maman S. Mahyana (2009) berpendapat bahwa sastra bandingan ialah
tindakan membandingkan dua karya sastra atau lebih dari sedikitnya dua negara
yang berbeda juga termasuk wilayah kajian sastra bandingan. Karya sastra yang
dibandingkan, setidaknya mempunyai tiga perbedaan, mencakup (a) bahasa, (b)
wilayah, dan (c) ideologi/politik. Dengan melihat perbedaan antara dua karya
sastra sebagai bahan perbandingan akan memungkinkan munculnya “perbedaan latar
belakang sosial budaya”. Latar sosial budaya, seperti lokasi, tradisi, dan
pengaruh melingkupi diri masing-masing pengarang. Kondisi tersebut akan
tercermin dalam karya sastra yang dihasilkan.
PEMBAHASAN
Relasi Produksi Patriarki dalam Rumah Tangga
Feminisme, sebagai suatu gerakan baru yang
menentang adanya sistem patriarki, dalam novel Perempuan di Titik Nol yang ditulis Nawal El Saadawi, begitu jelas
tidak sependapat dengan sistem patriarki. Dalam kutipan-kutipan berikut akan
dijumpai bagaimana sistem patriarki mendominasi perempuan dalam rumah tangga.
“Setelah
saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan
mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air. Sekarang saya telah
menggantikan ibu dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukannya….”( Saadawi,
2014: 25)
“Pada
waktu ia selesai makan Ibu membawakan segelas air kepadanya…”( Saadawi, 2014:
27)
“Saya
tahu bahwa perempuan tidak bisa menjadi kepala negara, tetapi saya merasa bahwa
saya tidak seperti perempuan lainnya, juga anak-anak perempuan lain di sekitar
saya yang tetap saja bicara tentang cinta, atau tentang laki-laki.” (Saadawi,
2014: 38)
“Saya
dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan
di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu
tanpa batas mengumpulkan uang, seks dan kekuasaan tanpa batas.”( Saadawi, 2014:
41)
Dari
kutipan-kutipan di atas, pengarang menggambarkan sistem patriarki yang begitu
mengekang kaum perempuan yang khususnya dalam keluarga. Pengarang menggambarkan
bagaimana kekuasaan seorang laki-laki yang “semena-mena” terhadap perempuan. Walaupun
sebagai seorang istri, dari kutipan tersebut, pengarang seolah tetap tidak setuju
dengan sistem patriarki. Terlebih lagi, pengarang memunculkan gambaran
perempuan seolah-olah seperti pembantu. Selain itu, pengarang juga memunculkan
adanya keterbatasan perempuan terhadap laki-laki, bahwa laki-laki adalah
penguasa segalanya dan perempuan tidak mampu menentang itu. Hal inilah yang
menjadi sorotan pengarang, bahwa kekuasaan laki-laki tidak seharusnya
memperbudak perempuan.
Selanjutnya,
dalam novel Saman yang ditulis Ayu
Utami, juga menampakkan tidak sependapatnya dengan sistem patriarki. Dalam
kutipan-kutipan berikut akan dijumpai bagaimana sistem patriarki mendominasi
perempuan dalam rumah tangga.
“Nama saya Shakuntala. Orang Jawa tak punya nama
keluarga.”
“Anda memiliki ayah, bukan?”
“Alangkah indahnya kalau tak punya.”
“Gunakan nama ayahmu,” kata wanita di loket itu.
“Dan mengapa
saya harus memakainya? “Formulir ini harus diisi.”
Aku pun marah. “Nyonya, Anda beragama Kristen bukan?
Saya tidak, tapi saya belajar dari sekolah Katolik: Yesus tidak mempunyai ayah.
Kenapa orang harus memakainya?” (Utami, 2006: 137)
“Lalu aku melobi mereka agar tidak memaksaku
mengenakan nama ayahku dalam dokumen-dokumen, sebab kami tak punya konsep itu.
Dan kukira tidak perlu. “Tapi tak mungkin orang cuma mempunyai satu kata,” kata
mereka. Atau, barangkali aku ini bukan orang? Lalu aku terpaksa kompromi, sebab
jangan-jangan aku memang bukan orang padahal aku betul-betul ingin melihat
negeri mereka. First name: Shakun. Family name: Tala.” (Utami, 2006: 138)
Dari kutipan-kutipan di atas, pengarang
menggambarkan sistem patriarki yang menolak keberadaan kaum laki-laki di sebuah
keluarga. Selanjutnya, juga pada kutipan tersebut tergambar keengganan kaum
perempuan dalam mengaitkan dirinya (mencantumkan nama ayah) terhadap sosok yang
dianggap lebih berkuasa terhadap kaum perempuan tersebut.
Relasi Patriarki dalam Seksualitas
Pada novel Saman
ideologi patriark yang dipermasalahkan ialah mengenai ketidakadilan
terhadap perempuan dalam memilih pasangan. Lebih lanjutnya tergambar pada
kutipan berikut.
“Karena
raksasa akan dibunuh seperti wirok jika memasuki keputrian yang terletak di
belakang kesatrian, akulah yang mengunjunginya di bawah pohon-pohon kepuh.
Belit-membelit seperti nagagini dengan seekor ular domestik.” (Utami, 2006: 120)
“Pertama,
hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang menghampiri
laki-laki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada
lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu
dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang
hipokrit.” (Utami, 2006: 120)
“Laila
bukanlah aku atau Cok, orang-orang dari jenis yang tak peduli betul pada
pernikahan atau neraka, selain berpendapat bahwa keduanya adalah himpunan dan
di antaranya ada irisan.” (Utami, 2006: 127)
Dari kutipan di
atas tampak bahwa perempuan dijadikan sebagai objek oleh laki-laki, martabat perempuan
yang dianggap tidak ada dijadikan oleh laki-laki sebagai pemuas nafsu belaka. Kemudian,
tokoh perempuan dalam novel ini juga mendobrak pemikiran tentang pernikahan
yang sebagian orang masih dianggap sakral.
Sedangkan pada novel
Perempuan di Titik Nol, permasalahan
seksualitas digambarkan dengan tokoh utama yang menjadi pelacur. Tokoh utama
tersebut mendobrak pemikiran masyarakat patriarki mengenai permasalahan
keperawanan. Tokoh utama dalam novel tersebut sudah tidak lagi acuh mengenai
hal-hal tabu yang menyangkut keperawanan. Hal tersebut tergambar pada kutipan
berikut.
“Ia menyuruh saya tiduran di atas
tumpukan jerami, dan mengangkat galabeya saya. Kami bermain-main menjadi
‘pengantin perempuan dan pengantin laki-laki’. Dari bagian tertentu tubuh saya,
di bagian mana saya tidak tahu pasti, timbul suatu perasaan nikmat luat biasa.”
(Shaadowy, 2014: 19)
Dari kutipan di atas
tampak bagaimana pengarang mendobrak pemikiran masyarakat mengenai nilai dari sebuah
keperawanan. Tokoh utama pada novel tersebut menjadikan seks sebagai kegiatan
yang wajar tanpa lagi memedulikan semua norma dan kepercayaan yang berlaku.
Kekerasan yang Dilakukan Oleh Kaum
Laki-Laki
Pada novel Saman terdapat kekerasan yang ada lebih didominasi oleh kekerasan
batin daripada fisik. Seperti pada kutipan berikut yang mengambarkan penggunaan
nama ayah pada nama anak.
“Lalu aku tidak jadi memohon visa. Kenapa ayahku harus
tetap memiliki sebagian dari diriku? Tapi hari-hari ini semakin banyak orang
Jawa tiru-tiru Belanda. Suami istri memberi nama si bapak pada bayi mereka
sambil menduga anaknya bahagia atau beruntung karena dilahirkan. Alangkah
melesetnya. Alangkah naif.” (Utami, 2006: 137)
Dari kutipan di
atas, pengarang mengambarkan sistem patriarki yang seolah-olah kaum laki-laki
bermaksud menghambat peran istri. Hal tersebut bisa memicu penekanan psikis terhadap
istri apabila ia ingin melakukan sesuatu kegiatan di lingkungan luar. Seorang
istri seolah-olah dituntut selalu bersikap baik kepada semua orang atas tingkah
lakunya, karena selalu menyandang nama suaminya.
Sedangkan pada novel Perempuan di Titik Nol kekerasan yang ada
lebih didominasi oleh kekerasan fisik daripada batin. Seperti contoh kutipan
berikut.
“Tangannya
besar dan kuat, dan itu adalah tamparan yang paling keras yang pernah saya
terima di muka saya. Kepala saya terayun ke sisi yang satu kemudian ke sisi
lainnya.” (Shaadowy, 2014: 79)
“Dia
lalu mengurung saya sebelum pergi. Sekarang saya tidur di lantai kamar lain.
Dia pulang tengah malam, menarik kain penutup dari tubuh saya, menampar muka
saya, dan merebahkan tubuhnya di ats tubuh saya dengan seluruh berat badannya.”
(Shaadowy, 2014: 80)
Dari kutipan di atas,
pengarang mengambarkan sistem patriarki yang seolah-olah kaum laki-laki sangat
berkuasa terhadap perempuan dan laki-laki seperti mempunyai kekuatan lebih
terhadap perempuan.
PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua novel
mengemukakan persoalan feminisme yang secara khusus juga membahas masalah
patriarku dengan cara yang gamblang. Selanjutnya dipaparkan juga amanat yang
menitik beratkan pada permasalahan feminisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Apriyana,
Tantri. 2016. Perbandingan Feminisme
Liberal Dalam Novel Pada Sebuah Kapal Karya Nh. Dini Dan Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya
Abidah El Khaleiqy (skripsi). Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Ali
Haji.
El
Saaadawi, Nawal. 2014. Perempuan di Titik
Nol. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mahayana,
Maman S. 2009. Masalah dalam Praktik
Studi Sastra Bandingan. http://sastra-indonesia.com/2009/02/masalah-dalam-praktik-studi-sastra-bandingan/.
Diakses tanggal 27 Maret 2018.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Susanto,
Dwi. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta:
Caps.
Utami,
Ayu. 2006. Saman. Jakarta: KPG.
Hayati, Yenni. 2012. Representasi Ketidakadilan
Gender dalam Cerita Dari Blora Karya Pramoedya Ananta Toer:Kajian
Feminisme. Atavisme, 15, 163‐176.
0 comments:
Post a Comment