Monday, April 16, 2018

POTRET IDEOLOGI PATRIARKI DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI DAN NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI

MAKALAH
POTRET IDEOLOGI PATRIARKI DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI DAN NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI







Oleh
Andri Rizki/NIM 15017059





PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA (NK)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2018


PENDAHULUAN
Karya sastra mengandung representasi kehidupan nyata. Nurgiyantoro (2010: 3) menyatakan bahwa karangan fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksi dengan lingkungannya dan terhadap diri sendiri, serta interaksinya terhadap Tuhan. Dalam karya sastra terdapat beberapa unsur kehidupan yang digambarkan berdasarkan realitas. Salah satu unsur kehidupan yang terkandung dalam karya sastra ialah feminisme.
Apriyana (2016: 6) menyatakan bahwa dalam karya sastra, feminisme berhubungan dengan masalah kebebasan dan keterpaksaan tokoh wanita dalam berbagai bidang kehidupan. Selain itu dalam penelitian feminisme juga harus memperhatikan konstruksi budaya dari pria dan wanita. Penyetaraan gender antara pria dan wanita dapat dilihat secara jelas dalam penelitian feminisme. Selain itu, terdapat berbagai macam permasalahan yang ada dalam lingkup feminisme itu sendiri. Salah satu yang sering tampak di tengah masyarakat ialah ideologi patriarki. Sebuah ideologi yang menganggap laki-laki mempunyai hak lebih terhadap perempuan dalam segala aspek. Sebagai contohnya, pada aspek berumah tangga suami memperlakukan istrinya sebagai pembantu rumah tangga yang tidak diberi kebebasan sedikit pun. Bentuk feminisme dalam karya sastra seperti yang telah dipaparkan di atas tidak hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi negara-negara lain juga mengalami hal yang serupa. Namun, antara satu negara dengan negara lain pastilah memiliki beberapa perbedaan permasalahan. Salah satu teori yang bisa dijadikan dasar untuk mengetahui perbedaan itu ialah teori sastra bandingan.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dalam penelitian sastra dibutuhkan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang diangkat. Pada makalah ini, akan dipaparkan penjabaran mengenai perbandingan potret ideologi patriarki dalam novel Saman karya Ayu Utami dengan novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi.
KAJIAN TEORI
Feminisme
Susanto (2016:179) mengatakan bahwa persoalan yang kerap muncul dalam sastra yang berhubungan dengan perempuan di antaranya adalah (1) perempuan jarang atau pun bahkan hampir tidak pernah disebutkan dalam sejarah sastra, (2) umumnya perempuan dihadirkan dengan berbagai cara yang merjan perempuan dalam karya sastra, dan (3) penulis perempuan selain dipandang sebagai kelas minor atau kelompok kedua dalam tradisi sastra. Setiap persoalan yang dijabarkan di atas mempunyai indikasi tersendiri, seperti persoalan pertama yang mengindikasikan bahwa intelektualitas dan peran perempuan dalam membangun sejarah peradaban ditiadakan. Persoalan kedua memiliki implikasi pada representasi perempuan, yakni stereotip, negatif, dan sebagai kelompok yang termarginalkan. Beberapa persoalan tersebut merupakan contoh dalam pembahasan mengenai perempuan dan sastra. Berdasarkan persoalan di atas, muncul gerakan perubahan yang bertujuan membongkar dan membalikkan paham androsentrisme ataupun patriarkat, yakni suatu paham ataupun pemikiran yang mengutamakan kekuasaan pada laki-laki.
Gerakan perubahan sosial bagi perempuan ini melahirkan teori yang disebut dengan teori feminisme. Perkembangan teori ini berbeda di berbagai negara tergantung pada sifat, tujuan, dan model gerakan pada perempuan yang mengembangkannya. Aliran dari gerakan feminisme ini juga beragam yakni seperi feminisme liberal, feminisme sosial, feminis psikoanalisis, feminisme Marxis, dan lainnya.
Kritik Sastra Feminis
Kedudukan perempuan dalam karya sastra selalu menjadi nomor ke sekian dibandingkan hal lainnya, perempuan kerap termarginalkan oleh kaum laki-laki yang notabene telah menguasai bidang sastra. Menurut Sugihastuti dan Suharto (dalam Hayati 2012: 166) kritik sastra feminis merupakan sarana mengkritik yang bersifat baru yang berangkat dari permasalahan pokok seperti anggapan perbedaan seksual. Kritik sastra feminis ini merupakan sebuah wadah bagi “pembaca sebagai perempuan” yang sekaligus memiliki pandangan terhadap peran perempuan dalam dunia sastra.
Perempuan dalam Budaya Patriarki
Dalam buku Kajian Novel dalam Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan yang ditulis oleh Suyitno, Walby (2014: 1) menyebutkan bahwa patriarki merupakan sistem struktur dan praktis sosial yang menempatkan kaum laki-laki sebagai kelompok yang mendominasi, melakukan opresi, dan mengeskploitasi kaum perempuan. Lebih lanjut, Walby mengungkapkan sebagai sebuah sistem, patriarki memiliki dua bentuk, yaitu patriarki domestik dan patriarki publik.
Subono (dalam Suyitno, 2014: 1) menjelaskan patriarki domestik menitikberatkan kerja-kerja dalam rumah tangga yang menghasilkan bentuk stereotipe yang terlekatkan pada diri kaum perempuan, sedangkan patriarki publik menghasilkan tekanan kepada kaum perempuan melalui ketentuan-ketentuan sistemik di tempat kerja dan pemerintahan atau negara. Dominasi patriarki ini sampai sekarang masih menghasilkan berbagai potret suram perempuan yang sangat memprihatinkan.
Selanjutnya Walby (dalam Suyitno 2014: 1-2) mengatakan bahwa kedua bentuk patriarki di atas bekerja secara leluasa dalam enam struktur yang meliputi: relasi produksi patriarki dalam rumah tangga, relasi patriarki dalam pekerjaan, relasi patriarki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki, relasi patriarki dalam seksualitas, dan relasi patriarki dalam instisusi-institusi budaya. Demikian juga Weedon (dalam Suyitno 2014: 2) yang menyebutkan patriarki adalah kekuatan yang membatasi perempuan karena patriarki merujuk kepada pengejawantahan konsep bahwa laki-laki lebih utama dibandingkan dengan perempuan.
     Dalam, pembahasan ini akan digunakan tiga teori Walby yang dikutip (dalam Suyitno 2014: 1-2) mengenai struktur dari bentuk-bentuk patriarki yang sesuai dengan kedua novel yang menjadi pokok pembahasan, yaitu relasi produksi patriarki dalam rumah tangga, relasi patriarki dalam seksualitas, dan kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Sastra Bandingan
Banyak pengertian atau rumusan mengenai sastra bandingan yang utamanya menekankan perbandingan dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda. Bila kita perhatikan secara terperinci maka kita akan menemukan beberapa masalah dalam  rumusan yang ada mengenai sastra bandingan itu. (Mahayana, 2009)
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, dalam Mahayana (2009) ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan.
“Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan sastra universal.”
Kemudian, Holman, dalam Mahayana (2009) mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang menekankan perbedaan bahasa dan asal negara dengan tujuan untuk menganalisis hubungan dan pengaruh antara karya yang satu terhadap karya yang lain. Selanjutnya, Maman S. Mahyana (2009)  berpendapat bahwa sastra bandingan ialah tindakan membandingkan dua karya sastra atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda juga termasuk wilayah kajian sastra bandingan. Karya sastra yang dibandingkan, setidaknya mempunyai tiga perbedaan, mencakup (a) bahasa, (b) wilayah, dan (c) ideologi/politik. Dengan melihat perbedaan antara dua karya sastra sebagai bahan perbandingan akan memungkinkan munculnya “perbedaan latar belakang sosial budaya”. Latar sosial budaya, seperti lokasi, tradisi, dan pengaruh melingkupi diri masing-masing pengarang. Kondisi tersebut akan tercermin dalam karya sastra yang dihasilkan.

PEMBAHASAN
Relasi Produksi Patriarki dalam Rumah Tangga
Feminisme, sebagai suatu gerakan baru yang menentang adanya sistem patriarki, dalam novel Perempuan di Titik Nol yang ditulis Nawal El Saadawi, begitu jelas tidak sependapat dengan sistem patriarki. Dalam kutipan-kutipan berikut akan dijumpai bagaimana sistem patriarki mendominasi perempuan dalam rumah tangga.
“Setelah saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air. Sekarang saya telah menggantikan ibu dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukannya….”( Saadawi, 2014: 25)
“Pada waktu ia selesai makan Ibu membawakan segelas air kepadanya…”( Saadawi, 2014: 27)
“Saya tahu bahwa perempuan tidak bisa menjadi kepala negara, tetapi saya merasa bahwa saya tidak seperti perempuan lainnya, juga anak-anak perempuan lain di sekitar saya yang tetap saja bicara tentang cinta, atau tentang laki-laki.” (Saadawi, 2014: 38)
“Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpulkan uang, seks dan kekuasaan tanpa batas.”( Saadawi, 2014: 41)
            Dari kutipan-kutipan di atas, pengarang menggambarkan sistem patriarki yang begitu mengekang kaum perempuan yang khususnya dalam keluarga. Pengarang menggambarkan bagaimana kekuasaan seorang laki-laki yang “semena-mena” terhadap perempuan. Walaupun sebagai seorang istri, dari kutipan tersebut, pengarang seolah tetap tidak setuju dengan sistem patriarki. Terlebih lagi, pengarang memunculkan gambaran perempuan seolah-olah seperti pembantu. Selain itu, pengarang juga memunculkan adanya keterbatasan perempuan terhadap laki-laki, bahwa laki-laki adalah penguasa segalanya dan perempuan tidak mampu menentang itu. Hal inilah yang menjadi sorotan pengarang, bahwa kekuasaan laki-laki tidak seharusnya memperbudak perempuan.
     Selanjutnya, dalam novel Saman yang ditulis Ayu Utami, juga menampakkan tidak sependapatnya dengan sistem patriarki. Dalam kutipan-kutipan berikut akan dijumpai bagaimana sistem patriarki mendominasi perempuan dalam rumah tangga.
“Nama saya Shakuntala. Orang Jawa tak punya nama keluarga.”
“Anda memiliki ayah, bukan?”
“Alangkah indahnya kalau tak punya.”
“Gunakan nama ayahmu,” kata wanita di loket itu.
 “Dan mengapa saya harus memakainya? “Formulir ini harus diisi.”
Aku pun marah. “Nyonya, Anda beragama Kristen bukan? Saya tidak, tapi saya belajar dari sekolah Katolik: Yesus tidak mempunyai ayah. Kenapa orang harus memakainya?” (Utami, 2006: 137)
“Lalu aku melobi mereka agar tidak memaksaku mengenakan nama ayahku dalam dokumen-dokumen, sebab kami tak punya konsep itu. Dan kukira tidak perlu. “Tapi tak mungkin orang cuma mempunyai satu kata,” kata mereka. Atau, barangkali aku ini bukan orang? Lalu aku terpaksa kompromi, sebab jangan-jangan aku memang bukan orang padahal aku betul-betul ingin melihat negeri mereka. First name: Shakun. Family name: Tala.” (Utami, 2006: 138)

Dari kutipan-kutipan di atas, pengarang menggambarkan sistem patriarki yang menolak keberadaan kaum laki-laki di sebuah keluarga. Selanjutnya, juga pada kutipan tersebut tergambar keengganan kaum perempuan dalam mengaitkan dirinya (mencantumkan nama ayah) terhadap sosok yang dianggap lebih berkuasa terhadap kaum perempuan tersebut.
Relasi Patriarki dalam Seksualitas
Pada novel Saman ideologi patriark yang dipermasalahkan ialah mengenai ketidakadilan terhadap perempuan dalam memilih pasangan. Lebih lanjutnya tergambar pada kutipan berikut.
“Karena raksasa akan dibunuh seperti wirok jika memasuki keputrian yang terletak di belakang kesatrian, akulah yang mengunjunginya di bawah pohon-pohon kepuh. Belit-membelit seperti nagagini dengan seekor ular domestik.” (Utami, 2006: 120)
“Pertama, hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang menghampiri laki-laki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit.” (Utami, 2006: 120)
“Laila bukanlah aku atau Cok, orang-orang dari jenis yang tak peduli betul pada pernikahan atau neraka, selain berpendapat bahwa keduanya adalah himpunan dan di antaranya ada irisan.” (Utami, 2006: 127)
Dari kutipan di atas tampak bahwa perempuan dijadikan sebagai objek oleh laki-laki, martabat perempuan yang dianggap tidak ada dijadikan oleh laki-laki sebagai pemuas nafsu belaka. Kemudian, tokoh perempuan dalam novel ini juga mendobrak pemikiran tentang pernikahan yang sebagian orang masih dianggap sakral.
Sedangkan pada novel Perempuan di Titik Nol, permasalahan seksualitas digambarkan dengan tokoh utama yang menjadi pelacur. Tokoh utama tersebut mendobrak pemikiran masyarakat patriarki mengenai permasalahan keperawanan. Tokoh utama dalam novel tersebut sudah tidak lagi acuh mengenai hal-hal tabu yang menyangkut keperawanan. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut.
Ia menyuruh saya tiduran di atas tumpukan jerami, dan mengangkat galabeya saya. Kami bermain-main menjadi ‘pengantin perempuan dan pengantin laki-laki’. Dari bagian tertentu tubuh saya, di bagian mana saya tidak tahu pasti, timbul suatu perasaan nikmat luat biasa.” (Shaadowy, 2014: 19)
Dari kutipan di atas tampak bagaimana pengarang mendobrak pemikiran masyarakat mengenai nilai dari sebuah keperawanan. Tokoh utama pada novel tersebut menjadikan seks sebagai kegiatan yang wajar tanpa lagi memedulikan semua norma dan kepercayaan yang berlaku.
Kekerasan yang Dilakukan Oleh Kaum Laki-Laki
Pada novel Saman terdapat kekerasan yang ada lebih didominasi oleh kekerasan batin daripada fisik. Seperti pada kutipan berikut yang mengambarkan penggunaan nama ayah pada nama anak.
“Lalu aku tidak jadi memohon visa. Kenapa ayahku harus tetap memiliki sebagian dari diriku? Tapi hari-hari ini semakin banyak orang Jawa tiru-tiru Belanda. Suami istri memberi nama si bapak pada bayi mereka sambil menduga anaknya bahagia atau beruntung karena dilahirkan. Alangkah melesetnya. Alangkah naif.” (Utami, 2006: 137)
Dari kutipan di atas, pengarang mengambarkan sistem patriarki yang seolah-olah kaum laki-laki bermaksud menghambat peran istri. Hal tersebut bisa memicu penekanan psikis terhadap istri apabila ia ingin melakukan sesuatu kegiatan di lingkungan luar. Seorang istri seolah-olah dituntut selalu bersikap baik kepada semua orang atas tingkah lakunya, karena selalu menyandang nama suaminya.
Sedangkan pada novel Perempuan di Titik Nol kekerasan yang ada lebih didominasi oleh kekerasan fisik daripada batin. Seperti contoh kutipan berikut.
“Tangannya besar dan kuat, dan itu adalah tamparan yang paling keras yang pernah saya terima di muka saya. Kepala saya terayun ke sisi yang satu kemudian ke sisi lainnya.” (Shaadowy, 2014: 79)
“Dia lalu mengurung saya sebelum pergi. Sekarang saya tidur di lantai kamar lain. Dia pulang tengah malam, menarik kain penutup dari tubuh saya, menampar muka saya, dan merebahkan tubuhnya di ats tubuh saya dengan seluruh berat badannya.” (Shaadowy, 2014: 80)
Dari kutipan di atas, pengarang mengambarkan sistem patriarki yang seolah-olah kaum laki-laki sangat berkuasa terhadap perempuan dan laki-laki seperti mempunyai kekuatan lebih terhadap perempuan.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua novel mengemukakan persoalan feminisme yang secara khusus juga membahas masalah patriarku dengan cara yang gamblang. Selanjutnya dipaparkan juga amanat yang menitik beratkan pada permasalahan feminisme.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyana, Tantri. 2016. Perbandingan Feminisme Liberal Dalam Novel Pada Sebuah Kapal Karya Nh. Dini  Dan Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khaleiqy (skripsi). Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji.
El Saaadawi, Nawal. 2014. Perempuan di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mahayana, Maman S. 2009. Masalah dalam Praktik Studi Sastra Bandingan. http://sastra-indonesia.com/2009/02/masalah-dalam-praktik-studi-sastra-bandingan/. Diakses tanggal 27 Maret 2018.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Susanto, Dwi. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Caps.
Utami, Ayu. 2006. Saman. Jakarta: KPG.
Hayati, Yenni. 2012. Representasi Ketidakadilan Gender  dalam Cerita Dari Blora Karya Pramoedya Ananta Toer:Kajian Feminisme. Atavisme, 15, 163176.



Share:  

0 comments:

Post a Comment