Saman adalah
novel pertama karya Ayu Utami yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer
Gramedia pada bulan April 1998. Novel ini berkisah tentang seorang mantan
pastur bernama Saman dan empat perempuan yang bersahabat dari kelas enam SD
sampai mereka dewasa, yaitu Yasmin Moningka, Shakuntala, Cokorda, dan Laila.
Novel Saman pada awalnya direncanakan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu
Utami, Laila Tak Mampir di New York namun kemudian karya tersebut diterbitkan
menjadi dwilogi Saman dan Larung.
pada kesempatan kali ini saya akan membahas unsur ektrinsik utama yang terdapat pada novel ini.
A. Pengarang
Ayu
Utami yang mempunyai nama lengkap Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan,
khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21
November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama
Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga Katolik.
Pendidikan
terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia
(1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation,
Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership
Fellow Program, Tokyo, Japan (1999). Ayu
menggemari cerita petualangan, seperti
Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin.
Selain itu, ia menyukai
musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih
sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak
menekuni dunia model.
Ayu
pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan
bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk
dalam dunia jurnalistik dan bekerja
sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat
kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif
menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut
mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan
Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai
kurator. Ia anggota redaktur Jurnal
Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.
Setelah
tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama
yang ditulisnya adalah Saman (1998).
Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra
karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia.
Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian
Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun.
Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru
dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di
Jurnal Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya,
Saman dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.
B. Sensitivitas Pengarang
Sensitivitas atau kepekaan pengarang
dalam sebuah karya akan mempengaruhi bagaimana bentuk karya itu sendiri. Dalam novel
saman kita dapat melihat Ayu Utami sangat menonjolkan unsur ini. Tergambar pada
hal yang diangkatnya dalam novel ini adalah hal yang tabu untuk
diperbincangkan. Berdasarkan realitas yang ada pada masyarakat pada tahun novel
ini diterbitkan, Ayu mencoba mengusik dan memberontak hal-hal yang selama ini
tidak sesuai dengan yang diinginkannya.
Terlihat dalam novel Saman saat Ayu
menggambarkan tokoh Shakuntala seolah-olah telah meniadakan doktrin yang selama
ini berkembang di masyarakat. Shakuntala menganggap keperawanan sebuah
ketidakadilan yang diciptakan Tuhan bagi perempuan. Sangat berbeda dengan
pandangan masyarakat pada umumnya bahwa keperawanan itu harus dijaga dan tidak
diberikan pada orang sembarangan.
Kemudian, terdapat hal lain yang
diangkat Ayu dalam saman yang mengunggah kepekaan pengarang yaitu permasalahan intoleransi
dalam agama. Ayu dalam tokoh-tokohnya sangat menonjolkan sikap intoleransi
tersebut. Permasalahan-permasalahan yang ada dalam agama yang menggugah hati
Ayu di ekspresikannya melalui tokoh-tokoh tertentu.
Yang terakhir permasalahan politik
yang selalu menjadi isu hebat dalam kehidupan pada saat penciptaan novel saman
sendiri, ditonjolkan Ayu dengan memprotes dan menyindir melalui permasalahan-permasalahan
mengenai ketidakadaanya keadilan.
C. Imajinasi Pengarang
Dalam novel saman sangat tampak
imajinasi Ayu sangat liar. Seperti pada penggambaran tokoh Shakuntala waktu
kecil, Ayu menceritakan tokoh tersebut mempunyai pikiran yang luas daripada
anak seumurannya. Ayu menggambarkan sebuah imajinasi yang kuat yang tertuang
dalam pikiran tokoh Shakuntala tersebut. Kemudian, imajinasi Ayu dalam hal yang
berbau seks sangat kuat. Tergambar pada bagian akhir novel yang menggambarkan
peristiwa-peristiwa tersebut.
Keliaran imajinasi ayu tersebut
mempengaruhi bentuk novel yang ia ciptakan. Seperti dalam sama yang menonjolkan
banyak unsur seks dan agama. Dan imajinasi yang dimiliki ayu membawa kekaguman
bagi pembaca karena telah berani menceritakan hal-hal tabu dalam masyarakat.
D. Intelektual Pengarang
Terdapat beberapa pemikiran pengarang
yang muncul dalam novel saman ini.
Seperti yang pertama yaitu kritik
terhadap pemerintah orde baru. Dalam novel ini pengarang mengungkapkan betapa
tidak dianggapnya rakyat kecil jika telah berurusan dengan orang yang berkuasa
di negeri ini. Ayu juga menyinggung permasalahan keterpencilan masyarakat di
pelosok desa.
Selanjutnya permasalahan hak asasi
manusia merupakan salah satu yang ditonjolkan oleh Ayu dalam Saman. Ayu
menganggap semua manusia harusnya diperlakukan dengan perlakuan yang sama. Hal
tersebut tergambar saat tokoh Upi yang merupakan orang gila diperlakukan baik
oleh tokoh Wis. Dan di sana terlihat
jelas pemikiran Ayu untuk membela hak asasi manusia.
Kemudian, Ayu mengangkat permasalahan
seksualitas, di dalam Saman kita melihat Ayu mencoba memberikan pandangannya
mengenai hal tersebut. Melalui tokohnya Shakuntala, Ayu mencoba menceritakan
bagaimana pemikiran-pemikiran “kiri” dari wanita.
E. Pandangan hidup
Novel saman menyuguhkan beberapa
pandangan hidup.
Seperti yang pertama terlihat pada
tokoh Sihar dan Saman yang mempunyai pandangan untuk menyejahterakan rakyat
kecil. Sihar berusaha mengangkat derajat rakyat kecil saat melawan penguasa. Sedangkan
Saman, ia tampak menyejahterakan rakyat kecil dengan ilmu yang ia peroleh sewaktu
kuliah di IPB. Saman mencoba membangkitkan semangat masyarakat untuk terus berusaha dan bekerja keras terhadap
perkebunannya sendiri
Kemudian yang kedua pandangan
penguasa yang sewenang-wenang tergambar jelas pada tokoh Rosano, ia melihat
rakyat kecil dengan sepele. Tidak ada bela kasihan atas perbuatannya sendiri.
Rosano menganggap semua hal bisa diatur dengan kekuasaan dan uang.
0 comments:
Post a Comment