Tuesday, February 27, 2018


LAPORAN BACAAN BUKU SAPARDI DJOKO DAMONO BERJUDUL PEGANGAN PENELITIAN SASTRA BANDINGAN
A.    PENDAHULUAN
Pada bagian berikut ini penulis akan mendeskripsikan identitas buku secara rinci, di antaranya adalah sebagai berikut:
Judul buku                  : Pegangan Penelitian Sastra Bandingan
Pengarang                   : Sapardi Djoko Damono
Penerbit                       : Pusat Bahasa
Tahun Terbit                : 2005
Kota Terbit                  : Jakarta
Jumlah Halaman          : v + 121 halaman
Lembaga Penerbit       : Departemen Pendidikan Nasional
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini secara garis besar, membahas tentang penggunaan pendekatan sastra bandingan bagi penelitian sastra, serta penjelasan-penjelasan mengenai perkembangan sastra bandingan. Selanjutnya terdapat penjelasan mengenai masalah penerjemahan tentang karya sastra beserta perbandingannya di seluruh dunia. Terakhir pada bagian penutup berisikan tentang pendekatan yang biasa dilakukan dalam penelitian sastra, yaitu tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan sastra dengan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan perubahan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.
B.     BAGIAN BUKU
Pada bagian ini penulis akan melaporkan secara garis besar isi dari buku yang ditulis Damono yang terdiri dari 12 bagian, yaitu sebagai berikut.
Bagian Satu: Pendahuluan
Pada bagian Pendahuluan dijelaskan tentang penggunaan pendekatan sastra bandingan bagi penelitian sastra. Penelitian sastra bandingan mengharuskan menggunakan pendekatan tersebut agar bisa memahami suatu masalah. Selain berisikan tentang penggunaan pendekatan sastra bandingan, bagian ini juga menjelaskan bahwa buku ini berisi tentang penjelasan sastra bandingan bukanlah yang tertulis saja, tetapi termasuk juga yang lisan dengan pengertian tersendiri pula. Buku ini diharapkan dapat bermanfaat, terutama untuk memahami sastra, serta dapat diapresiasikan pada kebudayaan yang telah ada. Dengan menggunakan pendekatan ini dalam penelitian karya sastra, maka akan sangat bermanfaat bagi kita dalam memahami sastra dan mengapresiasi kebudayaan yang telah menghasilkannya.

Bagian Dua: Beberapa Pengertian Dasar
Pada bagian Beberapa Pengertian Dasar ini dijelaskan tentang sastra bandingan yang merupakan salah satu pendekatan dalam ilmu sastra dan tidak menghasilkan teori sendiri, artinya teori apa saja bisa dimanfaatkan sesuai dengan objek dan tujuan penelitian.
Pada bagian ini terdapat beberapa pendapat ahli yang dapat disimpulkan sebagai berikut, sastra bandingan merupakan kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain. Oleh karena itu, dalam penelitian sastra bandingan diharuskan untuk menguasai bahasa asli dari karya sastra yang akan dibandingkan, karena kekhasan karya sastra itu terdapat pada bahasanya. Pada umumnya pembandingan karya sastra berawal dari kebudayaan yang berbeda namun memiliki kemiripan.
Menurut Jost dalam Damono (2005:8-9), pendekatan dalam sastra bandingan dibagi menjadi empat bidang, yakni pengaruh dan analogi, gerakan dan kecenderungan, genre dan bentuk, serta motif, tipe, dan tema.

Bagian Tiga:  Perkembangan Sastra Bandingan
Pada bagian Perkembangan Sastra Bandingan ini dijelaskan tentang asal mula lahir dan berkembangnya sastra bandingan di Eropa. Terdapat pengaruh bagi awal munculnya sastra bandingan di Eropa jika dilihat dari segi kebahasaannya. Bahasa yang mirip satu sama lain di Eropa tersebut menghasilkan kesusastraan yang berbeda-beda, walaupun terdapat hubungan sejarah di antara mereka. Cabang studi sastra bandingan baru berkembang di Prancis awal abad ke-19. Barulah pada abad ke-20 terjadi pengukuhan bagi studi sastra bandingan yang dimuat dalam jurnal Reve literature compare yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1921.
Pada bangsa Eropa studi sastra bandingan menjadi kegiatan yang wajar, tidak dicari-cari. Berbeda dengan di benua Asia, sastra bandingan ditinjau dari segi linguistik dan budaya. Bangsa Asia memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu aksara yang berbeda dan tidak memiliki acuan yang tunggal dalam kebudayaan seperti Eropa serta tidak suka dibanding-bandingkan.

Bagian Empat : Asli, Pinjaman, Tradisi
Pada bagian Asli, Pinjaman, Tradisi ini dijelaskan bahwa pada zaman sekarang hampir tidak mungkin lagi menemukan benda budaya yang sepenuhnya asli, termasuk pada karya sastra,  ini dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin canggih. Dapat dicontohkan dengan kisah Mahabharata yang lahir di India dan  baru bisa dinikmati di tanah Jawa setelah ratusan tahun lamanya. Namun pada zaman sekarang ini dengan kecanggihan teknologi, memungkinkan sebuah benda, budaya atau karya sastra dengan mudah bisa mencapai tempat lain dalam waktu yang singkat.
Dengan maraknya penularan-penularan yang berkembang, menjadikan salah satu alasan utama untuk mengembangkan sastra bandingan. Penularan dapat berupa “pengaruh” yang harus diartikan secara luas yaitu bukan hanya sekedar proses peniruan yang menimbulkan karya sastra baru berdasarkan hasil tiruan dari karya sastra yang sudah ada. Dalam hal ini konsep pengaruh diartikan  mulai dari pinjaman sampai ke tradisi. Tak bisa dipungkiri betapa banyaknya karya sastra yang menjadi tonggak sastra dunia merupakan pinjaman, artinya karya tersebut tidaklah asli lagi atau pinjaman.
Kegiatan meminjam baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap perkembangan kesusastraan. Misalnya kisah cinta terlarang seorang anak laki-laki yang mencintai ibunya, dalam kebudayaan Barat dikenal dengan kisah Oedipus, sedangkan kebudayaan Sunda dikenal dengan Sangkuriang. Dongeng seperti ini ternyata bisa kita temukan di berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Kisah-kisah dalam tradisi lisan pada zaman dahulu kemudian diangkat dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.

Bagian Lima: Terjemahan
Pada bagian Terjemahan ini dijelaskan tentang karya sastra setiap bangsa tidaklah sama, untuk memahaminya maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menerjemahkannya. Menerjemahkan dimulai dengan menerjemahkan aksaranya, gunanya untuk mempermudah pemahaman terhadap karya sastra yang ditulis. Sastra tulis yang berkembang di Indonesia tidak terlepas dari bayang-bayang aksara India, dikarenakan zaman dahulu nenek moyang bangsa Indonesia mengembangkan aksara yang dipinjam dari India sehingga menghasilkan aksara Jawa, Sunda, dan Bali. Kitab klasik yang berkaitan dengan dengan Epos Mahabharata dan Ramayana bermunculan di awal tradisi tulisan sastra Jawa.
Perkembangan berikutnya adalah aksara Arab dengan menciptakan huruf Jawi ke dalam bahasa Melayu dan Pegon dalam bahasa Jawa serta tidak terlepas dari kebudayaan Timur Tengah yang berkaitan erat dengan agama dan kebudayaan Islam. Terakhir pada perkembangannya kita memilih aksara Latin yang dipakai untuk menerjemahkan Sastra Barat ke dalam beberapa bahasa di antaranya Melayu dan beberapa bahasa lainnya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dan beberapa penerbit swasta.
Pada tahun 1920 sampai 1930-an pengaruh romantisme masih sangat kental di Indonesia, kemudian tahun 1950 sampai 1960-an terjadi “kesemerautan” pengaruh asing. Salah satu tokoh yang menerima pengaruh asing adalah Chairil Anwar. Chairil Anwar merupakan sastrawan yang  mampu menciptakan kesusastraan baru. Karya sastra yang diterjemahkan Chairil yang terkenal adalah Huesca. Pada hasil terjemahan tersebut Chairil dianggap “setia” pada pengulangan bunyi tapi tidak “setia” pada makna. Pada bab ini juga terdapat pernyataan seorang tokoh yang menganggap sastra terjemahan tidak lebih dari reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak, artinya karya sastra terjemahan tersebut sudah tidak asli lagi dan berbeda dari karya aslinya. Namun, sebenarnya karya terjemahan tidaklah seburuk yang dibayangkan oleh tokoh tersebut,  sangat mungkin ada terjemahan yang lebih bagus dari aslinya.
Dalam penerjemahan karya sastra dipengaruhi oleh kebudayaan sasaran, artinya penerjemah bisa menjadi “pengkhianat kreatif”’ dalam menulis karya sastranya ini disebabkan penerjemah diikat oleh kebudayaan sendiri. Chairil Anwar dianggap sebagai “pengkhianat kreatif” yang menerjemahkan sajak The Young Dead Soldier menjadi sajak yang berjudul  Karawang Bekasi. Chairil Anwar diikat oleh kebudayaan sendiri, walaupun banyak yang menganggapnya plagiat terhadap karya  MacLeish tersebut.

Bagian Enam: Sastra Bandingan Nusantara
Pada bagian Sastra Bandingan Nusantara ini dijelaskan tentang kekayaan kebudayaan Indonesia yang menjadi sumber penelitian sastra bandingan. Misalnya tentang tradisi lisan dan tulis, bahkan beberapa daerah mengembangkan aksara tersendiri, seperti pulau Jawa, Sunda, Bali, Bugis dan Batak yang berkaitan satu sama lain. Berbeda dengan negeri-negeri di Eropa yang mengacu pada Mitologi Yunani dan perjanjian lama Injil.
Kemudian, dijelaskan bahwa sastra dari kebudayaan yang satu dan lainnya sangat berbeda yang ditentukan oleh geografi dan SDA. Karya sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan daerah akan mudah dipahami masyarakat seluruh Indonesia, namun jika menggunakan bahasa daerah misalnya bahasa Jawa maka hanya sekelompok orang saja yang akan mengerti.
Genre yang berkembang di Indonesia juga dipengaruhi oleh luar. Misalnya genre wiracarita, dalam bentuk syair, kidung, kakawin, hikayat, berbagai jenis teater rakyat, dan pelipur lara. Dalam sastra bandingan yang terpenting adalah penggunaan dan penguasaan bahasa asli dari karya tersebut, karena sejatinya dalam sastra bandingan kendala utama adalah bahasa. Pemaparan yang terdapat dalam sastra bandingan nusantara, yaitu tentang berbagai macam sastra Indonesia yang hampir sama dengan sastra di berbagai belahan dunia kemudian dibanding-bandingkan sehingga dapat dilihat persamaan dan perbedaannya.

Bagian Tujuh: Membandingkan Dongeng
Pada bagian Membandingkan Dongeng ini dijelaskan bahwa setiap negara pastinya memiliki sebuah karya sastra berupa dongeng. Tidak bisa dipungkiri ada beberapa dongeng yang mirip antara negara yang satu dengan negara lainnya. Dalam sastra bandingan sering dilakukan kegiatan membandingkan antara dongeng yang satu dengan yang lainnya tujuannya untuk mengetahui kaitannya antara dongeng yang satu dengan yang lainnya, misalnya persamaan dengan perbedaan dan watak dalam suatu masyarakat.
Seperti contohnya dalam mitologi Yunani Kuno terkenal dengan kisah Oediphus, yang ribuan tahun lalu telah berkembang. Kemudian dikenal juga di banyak negeri di Eropa pada zaman yang lebih kemudian dengan judul yang berbeda namun kisah yang saling berkaitan, antara kedua zaman ini memiliki cara sendiri untuk mengungkapkannya dan menafsirkannya. Keterkaitan dongeng antara satu dengan yang lainnya diakibatkan faktor sosial, politik, dan kebudayaan.

Bagian Delapan: Dalam Bayangan Tagore
Pada bagian Dalam Bayangan Tagore ini dijelaskan bahwa Rabindranath Tagore merupakan sastrawan Asia pertama yang menerima hadiah Nobel untuk bidang kesusastraan pada tahun 1913. Puisinya yang berjudul Gitanjali diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Tagaroe mempunyai pengaruh yang kuat, terbukti dari merebaknya minat penyair muda di Indonesia terhadap karya sastra. Puisinya yang berjudul Gitanjali yang diterjemahkan oleh Amal Hamzah merebut perhatian banyak remaja pada waktu itu. Karya Tagore ini memang karya sastra yang “tua”, namun salah satu keunggulan karya sastra adalah dapat menerobos pembatas zaman, karya yang bagus akan tetap dihargai sepanjang zaman.
Penyair-penyair muda Indonesia banyak dipengaruhi oleh Tagore, seperti Noto Soeroto, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Aoh K. Hadimadja. Studi mengenai seorang tokoh  dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan bisa menghasilkan berbagai jenis tinjauan mengenai jejak, kritik, penerimaan, dan masalah penerjemahan karya-karyanya dan sastra Indonesia tidak terlepas dari perkembangan sastra dunia.

Bagian Sembilan: Jejak Romantisme dalam Sastra Indonesia
Pada bagian Jejak Romantisme dalam Sastra Indonesia ini menjelaskan tentang perkembangan dan perluasan masuknya Romantisme di Indonesia. Gerakan Romantik di Barat merambat dari satu negeri ke negeri lain dengan mendukung kebebasan individu untuk berekspresi dan berimajinasi sesukanya.  Individualisme merupakan bagian penting dalam gerakan Romantik di Eropa. Tokoh yang erat hubungannya dengan gagasan individualisme adalah Napoleon Bonaparte. Kesusastraan Romantik mulai berkembang pada abad ke-18, berkiblat pada kebudayaan abad pertengahan yang lebih percaya pada iman dibandingkan zaman pencerahan yang bersandar pada logika. Jadi, Romantisme lebih berurusan dengan emosi ketimbang rasionalitas. Tokoh utama gerakan romantik yaitu William Wordsworth, menurutnya karya sastra merupakan luapan spontan dari perasaan yang menggebu-gebu.
Penyair Indonesia yang menganut aliran Romantisme ini antara lain adalah Sanusi Pane, dalam sajaknya disebutkan bahwa dalam hidup ini segala yang bernama kebudayaan, hasil budaya manusia, tidaklah ada artinya sama sekali dibandingkan perasaan yang ada di dalam hati sendiri.
Pada tahun 1930,  Alisjahbana beserta rekan-rekannya yaitu Ali Hasjmy, Sanusi Pane, dan Rustam Effendi aktif menulis berbagai puisi dan naskah drama  yang tidak terlepas dari aliran Romantisme namun disesuaikan dengan perkembangan sosial politik pada zaman itu, antara lain Nasionalisme. Perkembangan Nasionalisme mencapai puncaknya pada tahun  1928 ketika Sumpah Pemuda dicetuskan.
Romantisme tampak pada cerita rekaan dan drama yang diterbitkan pada masa itu, jika diperhatikan akan dapat diuraikan persamaan dan perbedaan antara kesusastraan kita dengan perkembangan kesusastraan Eropa pada abad ke-17 dan ke 18 tersebut.

Bagian Sepuluh: Gatoloco, Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan
Pada bagian Gatoloco, Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan ini menjelaskan tentang sebuah sajak modern Indonesia karya Goenawan Mohamad, yaitu Gatoloco yang dibandingkan dan sangat erat kaitannya dengan kitab klasik Jawa dengan judul yang sama. Sajak ini mengisahkan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurutnya ada lima jenis hubungan yang menjadi masalah utama bagi manusia, yaitu hubungan dengan Tuhan, alam, masyarakat, manusia, dan dirinya sendiri. Kitab Gatoloco ini dipinjam Goenawan Muhammad kemudian dimanfaatkan untuk mengungkapkan posisi manusia modern dihadapan Penciptanya.
Penggambaran latar, metafor, dan segala bentuk sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari yang digunakan Goenawan Mohamad mampu menjelaskan makna yang tersirat dalam kitab Gatoloco tersebut sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih baik  tentang sajak moderen ini dan posisi manusia serta hubungan dengan Sang Pencipta.

Bagian Sebelas: Alih Wahana
Pada bagian Alih Wahana ini menjelaskan tentang dalam karya sastra sering dijumpai perubahan kesatu jenis kesenian ke kesenian lain, misalnya cerita rekaan yang diubah menjadi tari, drama, atau film. Perubahan inilah yang disebut alih wahana.
Pada tahun 1950, sebuah grup ketoprak keliling yang berbahasa Jawa mengadakan pertunjukan tradisional dengan memerankan lakon Romeo dan Juliet karya Shakespare. Grup ketoprak tidak menggunakan naskah tertulis, semua yang terjadi merupakan improvisasi dari panggung. Karya Shakespare ini sangat diterima di berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia.
Alih wahana dari novel ke film memiliki perbedaan yang mendasar. Jika dalam novel kita hanya bisa berimajinasi terhadap tokoh-tokoh yang digambarkan oleh pengarang, namun pada film kita bisa melihat tokoh-tokoh yang digambarkan oleh pengarang. Tokoh yang digambarkan dalam novel terkadang sangat jauh berbeda dari film. Selain penggambaran tokoh, dialog merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan. Dialog dalam sebuah novel biasanya sangat panjang dan bertele-tele, namun tidak  berlaku pada film.
Di Indonesia alih wahana juga terjadi pada film, yaitu film diubah bentuknya ke novel. Artinya proses perubahan dari bahasa verbal ke bahasa tulis. Kasus alih wahana yang terjadi pada sastra Jawa merupakan prinsip penting, karena menyatakan bahwa karya sastra yang telah disadur, statusnya bukan lagi milik sastra sumber melainkan milik sastra bahasa sasaran.  

Bagian Dua Belas: Penutup
Pada bagian Penutup ini menjelaskan bahwa dalam penelitian sastra bandingan ada lima pendekatan yang biasa dilakukan, yakni tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan sastra dengan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan perubahan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.

C.    KOMENTAR
Buku Damono ini menjelaskan materi dengan menyertakan beragam contoh, sehingga penyampaian materinya terlihat dikemas dengan begitu rapi. Maka patut sekiranya untuk menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi untuk menambah teori tentang sastra bandingan.
Kemudian, penulis membandingkan buku ini dengan buku Endaswara yang berjudul Metode Penelitian Sastra Bandingan. Buku tersebut  terdiri atas sembilan bab serta daftar pustaka dan indeks.
Secara umum, kelebihan buku yang ditulis Endaswara dibandingkan dengan buku yang ditulis oleh Damono terletak pada penjelasan teori penelitian sastra bandingan. Endaswara lebih menjelaskan teori dengan rinci dan luas. Sangat berbeda dengan Damono yang hanya menjelaskan secara singkat dan lebih menyertai contoh untuk penjelasan tersebut.

D.    PENUTUP
Penulis dapat menyimpulkan bahwa buku yang ditulis oleh Damono maupun Endaswara memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan masing-masing. Akan tetapi yang terpenting dari semua itu, kedua buku tersebut layak menjadi acuan untuk menjadi dasar pencarian teori mengenai sastra bandingan. Karena keduanya memuat hal-hal yang cukup kompleks dan lengkap.
Saran dari penulis bagi buku yang ditulis Damono, yaitu perlunya penjelasan lebih lanjut mengenai beberapa teori yang dikemukakan oleh Damono. Sehingga, pembaca akan lebih cepat paham akan materi/teori yang dibahas
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Endaswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Buku Pop Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT).



Share:  

0 comments:

Post a Comment