Monday, April 16, 2018

POTRET IDEOLOGI PATRIARKI DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI DAN NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI

MAKALAH
POTRET IDEOLOGI PATRIARKI DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI DAN NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI







Oleh
Andri Rizki/NIM 15017059





PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA (NK)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2018


PENDAHULUAN
Karya sastra mengandung representasi kehidupan nyata. Nurgiyantoro (2010: 3) menyatakan bahwa karangan fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksi dengan lingkungannya dan terhadap diri sendiri, serta interaksinya terhadap Tuhan. Dalam karya sastra terdapat beberapa unsur kehidupan yang digambarkan berdasarkan realitas. Salah satu unsur kehidupan yang terkandung dalam karya sastra ialah feminisme.
Apriyana (2016: 6) menyatakan bahwa dalam karya sastra, feminisme berhubungan dengan masalah kebebasan dan keterpaksaan tokoh wanita dalam berbagai bidang kehidupan. Selain itu dalam penelitian feminisme juga harus memperhatikan konstruksi budaya dari pria dan wanita. Penyetaraan gender antara pria dan wanita dapat dilihat secara jelas dalam penelitian feminisme. Selain itu, terdapat berbagai macam permasalahan yang ada dalam lingkup feminisme itu sendiri. Salah satu yang sering tampak di tengah masyarakat ialah ideologi patriarki. Sebuah ideologi yang menganggap laki-laki mempunyai hak lebih terhadap perempuan dalam segala aspek. Sebagai contohnya, pada aspek berumah tangga suami memperlakukan istrinya sebagai pembantu rumah tangga yang tidak diberi kebebasan sedikit pun. Bentuk feminisme dalam karya sastra seperti yang telah dipaparkan di atas tidak hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi negara-negara lain juga mengalami hal yang serupa. Namun, antara satu negara dengan negara lain pastilah memiliki beberapa perbedaan permasalahan. Salah satu teori yang bisa dijadikan dasar untuk mengetahui perbedaan itu ialah teori sastra bandingan.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dalam penelitian sastra dibutuhkan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang diangkat. Pada makalah ini, akan dipaparkan penjabaran mengenai perbandingan potret ideologi patriarki dalam novel Saman karya Ayu Utami dengan novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi.
KAJIAN TEORI
Feminisme
Susanto (2016:179) mengatakan bahwa persoalan yang kerap muncul dalam sastra yang berhubungan dengan perempuan di antaranya adalah (1) perempuan jarang atau pun bahkan hampir tidak pernah disebutkan dalam sejarah sastra, (2) umumnya perempuan dihadirkan dengan berbagai cara yang merjan perempuan dalam karya sastra, dan (3) penulis perempuan selain dipandang sebagai kelas minor atau kelompok kedua dalam tradisi sastra. Setiap persoalan yang dijabarkan di atas mempunyai indikasi tersendiri, seperti persoalan pertama yang mengindikasikan bahwa intelektualitas dan peran perempuan dalam membangun sejarah peradaban ditiadakan. Persoalan kedua memiliki implikasi pada representasi perempuan, yakni stereotip, negatif, dan sebagai kelompok yang termarginalkan. Beberapa persoalan tersebut merupakan contoh dalam pembahasan mengenai perempuan dan sastra. Berdasarkan persoalan di atas, muncul gerakan perubahan yang bertujuan membongkar dan membalikkan paham androsentrisme ataupun patriarkat, yakni suatu paham ataupun pemikiran yang mengutamakan kekuasaan pada laki-laki.
Gerakan perubahan sosial bagi perempuan ini melahirkan teori yang disebut dengan teori feminisme. Perkembangan teori ini berbeda di berbagai negara tergantung pada sifat, tujuan, dan model gerakan pada perempuan yang mengembangkannya. Aliran dari gerakan feminisme ini juga beragam yakni seperi feminisme liberal, feminisme sosial, feminis psikoanalisis, feminisme Marxis, dan lainnya.
Kritik Sastra Feminis
Kedudukan perempuan dalam karya sastra selalu menjadi nomor ke sekian dibandingkan hal lainnya, perempuan kerap termarginalkan oleh kaum laki-laki yang notabene telah menguasai bidang sastra. Menurut Sugihastuti dan Suharto (dalam Hayati 2012: 166) kritik sastra feminis merupakan sarana mengkritik yang bersifat baru yang berangkat dari permasalahan pokok seperti anggapan perbedaan seksual. Kritik sastra feminis ini merupakan sebuah wadah bagi “pembaca sebagai perempuan” yang sekaligus memiliki pandangan terhadap peran perempuan dalam dunia sastra.
Perempuan dalam Budaya Patriarki
Dalam buku Kajian Novel dalam Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan yang ditulis oleh Suyitno, Walby (2014: 1) menyebutkan bahwa patriarki merupakan sistem struktur dan praktis sosial yang menempatkan kaum laki-laki sebagai kelompok yang mendominasi, melakukan opresi, dan mengeskploitasi kaum perempuan. Lebih lanjut, Walby mengungkapkan sebagai sebuah sistem, patriarki memiliki dua bentuk, yaitu patriarki domestik dan patriarki publik.
Subono (dalam Suyitno, 2014: 1) menjelaskan patriarki domestik menitikberatkan kerja-kerja dalam rumah tangga yang menghasilkan bentuk stereotipe yang terlekatkan pada diri kaum perempuan, sedangkan patriarki publik menghasilkan tekanan kepada kaum perempuan melalui ketentuan-ketentuan sistemik di tempat kerja dan pemerintahan atau negara. Dominasi patriarki ini sampai sekarang masih menghasilkan berbagai potret suram perempuan yang sangat memprihatinkan.
Selanjutnya Walby (dalam Suyitno 2014: 1-2) mengatakan bahwa kedua bentuk patriarki di atas bekerja secara leluasa dalam enam struktur yang meliputi: relasi produksi patriarki dalam rumah tangga, relasi patriarki dalam pekerjaan, relasi patriarki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki, relasi patriarki dalam seksualitas, dan relasi patriarki dalam instisusi-institusi budaya. Demikian juga Weedon (dalam Suyitno 2014: 2) yang menyebutkan patriarki adalah kekuatan yang membatasi perempuan karena patriarki merujuk kepada pengejawantahan konsep bahwa laki-laki lebih utama dibandingkan dengan perempuan.
     Dalam, pembahasan ini akan digunakan tiga teori Walby yang dikutip (dalam Suyitno 2014: 1-2) mengenai struktur dari bentuk-bentuk patriarki yang sesuai dengan kedua novel yang menjadi pokok pembahasan, yaitu relasi produksi patriarki dalam rumah tangga, relasi patriarki dalam seksualitas, dan kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Sastra Bandingan
Banyak pengertian atau rumusan mengenai sastra bandingan yang utamanya menekankan perbandingan dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda. Bila kita perhatikan secara terperinci maka kita akan menemukan beberapa masalah dalam  rumusan yang ada mengenai sastra bandingan itu. (Mahayana, 2009)
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, dalam Mahayana (2009) ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan.
“Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan sastra universal.”
Kemudian, Holman, dalam Mahayana (2009) mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang menekankan perbedaan bahasa dan asal negara dengan tujuan untuk menganalisis hubungan dan pengaruh antara karya yang satu terhadap karya yang lain. Selanjutnya, Maman S. Mahyana (2009)  berpendapat bahwa sastra bandingan ialah tindakan membandingkan dua karya sastra atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda juga termasuk wilayah kajian sastra bandingan. Karya sastra yang dibandingkan, setidaknya mempunyai tiga perbedaan, mencakup (a) bahasa, (b) wilayah, dan (c) ideologi/politik. Dengan melihat perbedaan antara dua karya sastra sebagai bahan perbandingan akan memungkinkan munculnya “perbedaan latar belakang sosial budaya”. Latar sosial budaya, seperti lokasi, tradisi, dan pengaruh melingkupi diri masing-masing pengarang. Kondisi tersebut akan tercermin dalam karya sastra yang dihasilkan.

PEMBAHASAN
Relasi Produksi Patriarki dalam Rumah Tangga
Feminisme, sebagai suatu gerakan baru yang menentang adanya sistem patriarki, dalam novel Perempuan di Titik Nol yang ditulis Nawal El Saadawi, begitu jelas tidak sependapat dengan sistem patriarki. Dalam kutipan-kutipan berikut akan dijumpai bagaimana sistem patriarki mendominasi perempuan dalam rumah tangga.
“Setelah saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air. Sekarang saya telah menggantikan ibu dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukannya….”( Saadawi, 2014: 25)
“Pada waktu ia selesai makan Ibu membawakan segelas air kepadanya…”( Saadawi, 2014: 27)
“Saya tahu bahwa perempuan tidak bisa menjadi kepala negara, tetapi saya merasa bahwa saya tidak seperti perempuan lainnya, juga anak-anak perempuan lain di sekitar saya yang tetap saja bicara tentang cinta, atau tentang laki-laki.” (Saadawi, 2014: 38)
“Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpulkan uang, seks dan kekuasaan tanpa batas.”( Saadawi, 2014: 41)
            Dari kutipan-kutipan di atas, pengarang menggambarkan sistem patriarki yang begitu mengekang kaum perempuan yang khususnya dalam keluarga. Pengarang menggambarkan bagaimana kekuasaan seorang laki-laki yang “semena-mena” terhadap perempuan. Walaupun sebagai seorang istri, dari kutipan tersebut, pengarang seolah tetap tidak setuju dengan sistem patriarki. Terlebih lagi, pengarang memunculkan gambaran perempuan seolah-olah seperti pembantu. Selain itu, pengarang juga memunculkan adanya keterbatasan perempuan terhadap laki-laki, bahwa laki-laki adalah penguasa segalanya dan perempuan tidak mampu menentang itu. Hal inilah yang menjadi sorotan pengarang, bahwa kekuasaan laki-laki tidak seharusnya memperbudak perempuan.
     Selanjutnya, dalam novel Saman yang ditulis Ayu Utami, juga menampakkan tidak sependapatnya dengan sistem patriarki. Dalam kutipan-kutipan berikut akan dijumpai bagaimana sistem patriarki mendominasi perempuan dalam rumah tangga.
“Nama saya Shakuntala. Orang Jawa tak punya nama keluarga.”
“Anda memiliki ayah, bukan?”
“Alangkah indahnya kalau tak punya.”
“Gunakan nama ayahmu,” kata wanita di loket itu.
 “Dan mengapa saya harus memakainya? “Formulir ini harus diisi.”
Aku pun marah. “Nyonya, Anda beragama Kristen bukan? Saya tidak, tapi saya belajar dari sekolah Katolik: Yesus tidak mempunyai ayah. Kenapa orang harus memakainya?” (Utami, 2006: 137)
“Lalu aku melobi mereka agar tidak memaksaku mengenakan nama ayahku dalam dokumen-dokumen, sebab kami tak punya konsep itu. Dan kukira tidak perlu. “Tapi tak mungkin orang cuma mempunyai satu kata,” kata mereka. Atau, barangkali aku ini bukan orang? Lalu aku terpaksa kompromi, sebab jangan-jangan aku memang bukan orang padahal aku betul-betul ingin melihat negeri mereka. First name: Shakun. Family name: Tala.” (Utami, 2006: 138)

Dari kutipan-kutipan di atas, pengarang menggambarkan sistem patriarki yang menolak keberadaan kaum laki-laki di sebuah keluarga. Selanjutnya, juga pada kutipan tersebut tergambar keengganan kaum perempuan dalam mengaitkan dirinya (mencantumkan nama ayah) terhadap sosok yang dianggap lebih berkuasa terhadap kaum perempuan tersebut.
Relasi Patriarki dalam Seksualitas
Pada novel Saman ideologi patriark yang dipermasalahkan ialah mengenai ketidakadilan terhadap perempuan dalam memilih pasangan. Lebih lanjutnya tergambar pada kutipan berikut.
“Karena raksasa akan dibunuh seperti wirok jika memasuki keputrian yang terletak di belakang kesatrian, akulah yang mengunjunginya di bawah pohon-pohon kepuh. Belit-membelit seperti nagagini dengan seekor ular domestik.” (Utami, 2006: 120)
“Pertama, hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang menghampiri laki-laki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit.” (Utami, 2006: 120)
“Laila bukanlah aku atau Cok, orang-orang dari jenis yang tak peduli betul pada pernikahan atau neraka, selain berpendapat bahwa keduanya adalah himpunan dan di antaranya ada irisan.” (Utami, 2006: 127)
Dari kutipan di atas tampak bahwa perempuan dijadikan sebagai objek oleh laki-laki, martabat perempuan yang dianggap tidak ada dijadikan oleh laki-laki sebagai pemuas nafsu belaka. Kemudian, tokoh perempuan dalam novel ini juga mendobrak pemikiran tentang pernikahan yang sebagian orang masih dianggap sakral.
Sedangkan pada novel Perempuan di Titik Nol, permasalahan seksualitas digambarkan dengan tokoh utama yang menjadi pelacur. Tokoh utama tersebut mendobrak pemikiran masyarakat patriarki mengenai permasalahan keperawanan. Tokoh utama dalam novel tersebut sudah tidak lagi acuh mengenai hal-hal tabu yang menyangkut keperawanan. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut.
Ia menyuruh saya tiduran di atas tumpukan jerami, dan mengangkat galabeya saya. Kami bermain-main menjadi ‘pengantin perempuan dan pengantin laki-laki’. Dari bagian tertentu tubuh saya, di bagian mana saya tidak tahu pasti, timbul suatu perasaan nikmat luat biasa.” (Shaadowy, 2014: 19)
Dari kutipan di atas tampak bagaimana pengarang mendobrak pemikiran masyarakat mengenai nilai dari sebuah keperawanan. Tokoh utama pada novel tersebut menjadikan seks sebagai kegiatan yang wajar tanpa lagi memedulikan semua norma dan kepercayaan yang berlaku.
Kekerasan yang Dilakukan Oleh Kaum Laki-Laki
Pada novel Saman terdapat kekerasan yang ada lebih didominasi oleh kekerasan batin daripada fisik. Seperti pada kutipan berikut yang mengambarkan penggunaan nama ayah pada nama anak.
“Lalu aku tidak jadi memohon visa. Kenapa ayahku harus tetap memiliki sebagian dari diriku? Tapi hari-hari ini semakin banyak orang Jawa tiru-tiru Belanda. Suami istri memberi nama si bapak pada bayi mereka sambil menduga anaknya bahagia atau beruntung karena dilahirkan. Alangkah melesetnya. Alangkah naif.” (Utami, 2006: 137)
Dari kutipan di atas, pengarang mengambarkan sistem patriarki yang seolah-olah kaum laki-laki bermaksud menghambat peran istri. Hal tersebut bisa memicu penekanan psikis terhadap istri apabila ia ingin melakukan sesuatu kegiatan di lingkungan luar. Seorang istri seolah-olah dituntut selalu bersikap baik kepada semua orang atas tingkah lakunya, karena selalu menyandang nama suaminya.
Sedangkan pada novel Perempuan di Titik Nol kekerasan yang ada lebih didominasi oleh kekerasan fisik daripada batin. Seperti contoh kutipan berikut.
“Tangannya besar dan kuat, dan itu adalah tamparan yang paling keras yang pernah saya terima di muka saya. Kepala saya terayun ke sisi yang satu kemudian ke sisi lainnya.” (Shaadowy, 2014: 79)
“Dia lalu mengurung saya sebelum pergi. Sekarang saya tidur di lantai kamar lain. Dia pulang tengah malam, menarik kain penutup dari tubuh saya, menampar muka saya, dan merebahkan tubuhnya di ats tubuh saya dengan seluruh berat badannya.” (Shaadowy, 2014: 80)
Dari kutipan di atas, pengarang mengambarkan sistem patriarki yang seolah-olah kaum laki-laki sangat berkuasa terhadap perempuan dan laki-laki seperti mempunyai kekuatan lebih terhadap perempuan.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua novel mengemukakan persoalan feminisme yang secara khusus juga membahas masalah patriarku dengan cara yang gamblang. Selanjutnya dipaparkan juga amanat yang menitik beratkan pada permasalahan feminisme.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyana, Tantri. 2016. Perbandingan Feminisme Liberal Dalam Novel Pada Sebuah Kapal Karya Nh. Dini  Dan Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khaleiqy (skripsi). Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji.
El Saaadawi, Nawal. 2014. Perempuan di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mahayana, Maman S. 2009. Masalah dalam Praktik Studi Sastra Bandingan. http://sastra-indonesia.com/2009/02/masalah-dalam-praktik-studi-sastra-bandingan/. Diakses tanggal 27 Maret 2018.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Susanto, Dwi. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Caps.
Utami, Ayu. 2006. Saman. Jakarta: KPG.
Hayati, Yenni. 2012. Representasi Ketidakadilan Gender  dalam Cerita Dari Blora Karya Pramoedya Ananta Toer:Kajian Feminisme. Atavisme, 15, 163176.



Tuesday, February 27, 2018


LAPORAN BACAAN BUKU SAPARDI DJOKO DAMONO BERJUDUL PEGANGAN PENELITIAN SASTRA BANDINGAN
A.    PENDAHULUAN
Pada bagian berikut ini penulis akan mendeskripsikan identitas buku secara rinci, di antaranya adalah sebagai berikut:
Judul buku                  : Pegangan Penelitian Sastra Bandingan
Pengarang                   : Sapardi Djoko Damono
Penerbit                       : Pusat Bahasa
Tahun Terbit                : 2005
Kota Terbit                  : Jakarta
Jumlah Halaman          : v + 121 halaman
Lembaga Penerbit       : Departemen Pendidikan Nasional
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini secara garis besar, membahas tentang penggunaan pendekatan sastra bandingan bagi penelitian sastra, serta penjelasan-penjelasan mengenai perkembangan sastra bandingan. Selanjutnya terdapat penjelasan mengenai masalah penerjemahan tentang karya sastra beserta perbandingannya di seluruh dunia. Terakhir pada bagian penutup berisikan tentang pendekatan yang biasa dilakukan dalam penelitian sastra, yaitu tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan sastra dengan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan perubahan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.
B.     BAGIAN BUKU
Pada bagian ini penulis akan melaporkan secara garis besar isi dari buku yang ditulis Damono yang terdiri dari 12 bagian, yaitu sebagai berikut.
Bagian Satu: Pendahuluan
Pada bagian Pendahuluan dijelaskan tentang penggunaan pendekatan sastra bandingan bagi penelitian sastra. Penelitian sastra bandingan mengharuskan menggunakan pendekatan tersebut agar bisa memahami suatu masalah. Selain berisikan tentang penggunaan pendekatan sastra bandingan, bagian ini juga menjelaskan bahwa buku ini berisi tentang penjelasan sastra bandingan bukanlah yang tertulis saja, tetapi termasuk juga yang lisan dengan pengertian tersendiri pula. Buku ini diharapkan dapat bermanfaat, terutama untuk memahami sastra, serta dapat diapresiasikan pada kebudayaan yang telah ada. Dengan menggunakan pendekatan ini dalam penelitian karya sastra, maka akan sangat bermanfaat bagi kita dalam memahami sastra dan mengapresiasi kebudayaan yang telah menghasilkannya.

Bagian Dua: Beberapa Pengertian Dasar
Pada bagian Beberapa Pengertian Dasar ini dijelaskan tentang sastra bandingan yang merupakan salah satu pendekatan dalam ilmu sastra dan tidak menghasilkan teori sendiri, artinya teori apa saja bisa dimanfaatkan sesuai dengan objek dan tujuan penelitian.
Pada bagian ini terdapat beberapa pendapat ahli yang dapat disimpulkan sebagai berikut, sastra bandingan merupakan kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain. Oleh karena itu, dalam penelitian sastra bandingan diharuskan untuk menguasai bahasa asli dari karya sastra yang akan dibandingkan, karena kekhasan karya sastra itu terdapat pada bahasanya. Pada umumnya pembandingan karya sastra berawal dari kebudayaan yang berbeda namun memiliki kemiripan.
Menurut Jost dalam Damono (2005:8-9), pendekatan dalam sastra bandingan dibagi menjadi empat bidang, yakni pengaruh dan analogi, gerakan dan kecenderungan, genre dan bentuk, serta motif, tipe, dan tema.

Bagian Tiga:  Perkembangan Sastra Bandingan
Pada bagian Perkembangan Sastra Bandingan ini dijelaskan tentang asal mula lahir dan berkembangnya sastra bandingan di Eropa. Terdapat pengaruh bagi awal munculnya sastra bandingan di Eropa jika dilihat dari segi kebahasaannya. Bahasa yang mirip satu sama lain di Eropa tersebut menghasilkan kesusastraan yang berbeda-beda, walaupun terdapat hubungan sejarah di antara mereka. Cabang studi sastra bandingan baru berkembang di Prancis awal abad ke-19. Barulah pada abad ke-20 terjadi pengukuhan bagi studi sastra bandingan yang dimuat dalam jurnal Reve literature compare yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1921.
Pada bangsa Eropa studi sastra bandingan menjadi kegiatan yang wajar, tidak dicari-cari. Berbeda dengan di benua Asia, sastra bandingan ditinjau dari segi linguistik dan budaya. Bangsa Asia memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu aksara yang berbeda dan tidak memiliki acuan yang tunggal dalam kebudayaan seperti Eropa serta tidak suka dibanding-bandingkan.

Bagian Empat : Asli, Pinjaman, Tradisi
Pada bagian Asli, Pinjaman, Tradisi ini dijelaskan bahwa pada zaman sekarang hampir tidak mungkin lagi menemukan benda budaya yang sepenuhnya asli, termasuk pada karya sastra,  ini dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin canggih. Dapat dicontohkan dengan kisah Mahabharata yang lahir di India dan  baru bisa dinikmati di tanah Jawa setelah ratusan tahun lamanya. Namun pada zaman sekarang ini dengan kecanggihan teknologi, memungkinkan sebuah benda, budaya atau karya sastra dengan mudah bisa mencapai tempat lain dalam waktu yang singkat.
Dengan maraknya penularan-penularan yang berkembang, menjadikan salah satu alasan utama untuk mengembangkan sastra bandingan. Penularan dapat berupa “pengaruh” yang harus diartikan secara luas yaitu bukan hanya sekedar proses peniruan yang menimbulkan karya sastra baru berdasarkan hasil tiruan dari karya sastra yang sudah ada. Dalam hal ini konsep pengaruh diartikan  mulai dari pinjaman sampai ke tradisi. Tak bisa dipungkiri betapa banyaknya karya sastra yang menjadi tonggak sastra dunia merupakan pinjaman, artinya karya tersebut tidaklah asli lagi atau pinjaman.
Kegiatan meminjam baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap perkembangan kesusastraan. Misalnya kisah cinta terlarang seorang anak laki-laki yang mencintai ibunya, dalam kebudayaan Barat dikenal dengan kisah Oedipus, sedangkan kebudayaan Sunda dikenal dengan Sangkuriang. Dongeng seperti ini ternyata bisa kita temukan di berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Kisah-kisah dalam tradisi lisan pada zaman dahulu kemudian diangkat dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.

Bagian Lima: Terjemahan
Pada bagian Terjemahan ini dijelaskan tentang karya sastra setiap bangsa tidaklah sama, untuk memahaminya maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menerjemahkannya. Menerjemahkan dimulai dengan menerjemahkan aksaranya, gunanya untuk mempermudah pemahaman terhadap karya sastra yang ditulis. Sastra tulis yang berkembang di Indonesia tidak terlepas dari bayang-bayang aksara India, dikarenakan zaman dahulu nenek moyang bangsa Indonesia mengembangkan aksara yang dipinjam dari India sehingga menghasilkan aksara Jawa, Sunda, dan Bali. Kitab klasik yang berkaitan dengan dengan Epos Mahabharata dan Ramayana bermunculan di awal tradisi tulisan sastra Jawa.
Perkembangan berikutnya adalah aksara Arab dengan menciptakan huruf Jawi ke dalam bahasa Melayu dan Pegon dalam bahasa Jawa serta tidak terlepas dari kebudayaan Timur Tengah yang berkaitan erat dengan agama dan kebudayaan Islam. Terakhir pada perkembangannya kita memilih aksara Latin yang dipakai untuk menerjemahkan Sastra Barat ke dalam beberapa bahasa di antaranya Melayu dan beberapa bahasa lainnya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dan beberapa penerbit swasta.
Pada tahun 1920 sampai 1930-an pengaruh romantisme masih sangat kental di Indonesia, kemudian tahun 1950 sampai 1960-an terjadi “kesemerautan” pengaruh asing. Salah satu tokoh yang menerima pengaruh asing adalah Chairil Anwar. Chairil Anwar merupakan sastrawan yang  mampu menciptakan kesusastraan baru. Karya sastra yang diterjemahkan Chairil yang terkenal adalah Huesca. Pada hasil terjemahan tersebut Chairil dianggap “setia” pada pengulangan bunyi tapi tidak “setia” pada makna. Pada bab ini juga terdapat pernyataan seorang tokoh yang menganggap sastra terjemahan tidak lebih dari reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak, artinya karya sastra terjemahan tersebut sudah tidak asli lagi dan berbeda dari karya aslinya. Namun, sebenarnya karya terjemahan tidaklah seburuk yang dibayangkan oleh tokoh tersebut,  sangat mungkin ada terjemahan yang lebih bagus dari aslinya.
Dalam penerjemahan karya sastra dipengaruhi oleh kebudayaan sasaran, artinya penerjemah bisa menjadi “pengkhianat kreatif”’ dalam menulis karya sastranya ini disebabkan penerjemah diikat oleh kebudayaan sendiri. Chairil Anwar dianggap sebagai “pengkhianat kreatif” yang menerjemahkan sajak The Young Dead Soldier menjadi sajak yang berjudul  Karawang Bekasi. Chairil Anwar diikat oleh kebudayaan sendiri, walaupun banyak yang menganggapnya plagiat terhadap karya  MacLeish tersebut.

Bagian Enam: Sastra Bandingan Nusantara
Pada bagian Sastra Bandingan Nusantara ini dijelaskan tentang kekayaan kebudayaan Indonesia yang menjadi sumber penelitian sastra bandingan. Misalnya tentang tradisi lisan dan tulis, bahkan beberapa daerah mengembangkan aksara tersendiri, seperti pulau Jawa, Sunda, Bali, Bugis dan Batak yang berkaitan satu sama lain. Berbeda dengan negeri-negeri di Eropa yang mengacu pada Mitologi Yunani dan perjanjian lama Injil.
Kemudian, dijelaskan bahwa sastra dari kebudayaan yang satu dan lainnya sangat berbeda yang ditentukan oleh geografi dan SDA. Karya sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan daerah akan mudah dipahami masyarakat seluruh Indonesia, namun jika menggunakan bahasa daerah misalnya bahasa Jawa maka hanya sekelompok orang saja yang akan mengerti.
Genre yang berkembang di Indonesia juga dipengaruhi oleh luar. Misalnya genre wiracarita, dalam bentuk syair, kidung, kakawin, hikayat, berbagai jenis teater rakyat, dan pelipur lara. Dalam sastra bandingan yang terpenting adalah penggunaan dan penguasaan bahasa asli dari karya tersebut, karena sejatinya dalam sastra bandingan kendala utama adalah bahasa. Pemaparan yang terdapat dalam sastra bandingan nusantara, yaitu tentang berbagai macam sastra Indonesia yang hampir sama dengan sastra di berbagai belahan dunia kemudian dibanding-bandingkan sehingga dapat dilihat persamaan dan perbedaannya.

Bagian Tujuh: Membandingkan Dongeng
Pada bagian Membandingkan Dongeng ini dijelaskan bahwa setiap negara pastinya memiliki sebuah karya sastra berupa dongeng. Tidak bisa dipungkiri ada beberapa dongeng yang mirip antara negara yang satu dengan negara lainnya. Dalam sastra bandingan sering dilakukan kegiatan membandingkan antara dongeng yang satu dengan yang lainnya tujuannya untuk mengetahui kaitannya antara dongeng yang satu dengan yang lainnya, misalnya persamaan dengan perbedaan dan watak dalam suatu masyarakat.
Seperti contohnya dalam mitologi Yunani Kuno terkenal dengan kisah Oediphus, yang ribuan tahun lalu telah berkembang. Kemudian dikenal juga di banyak negeri di Eropa pada zaman yang lebih kemudian dengan judul yang berbeda namun kisah yang saling berkaitan, antara kedua zaman ini memiliki cara sendiri untuk mengungkapkannya dan menafsirkannya. Keterkaitan dongeng antara satu dengan yang lainnya diakibatkan faktor sosial, politik, dan kebudayaan.

Bagian Delapan: Dalam Bayangan Tagore
Pada bagian Dalam Bayangan Tagore ini dijelaskan bahwa Rabindranath Tagore merupakan sastrawan Asia pertama yang menerima hadiah Nobel untuk bidang kesusastraan pada tahun 1913. Puisinya yang berjudul Gitanjali diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Tagaroe mempunyai pengaruh yang kuat, terbukti dari merebaknya minat penyair muda di Indonesia terhadap karya sastra. Puisinya yang berjudul Gitanjali yang diterjemahkan oleh Amal Hamzah merebut perhatian banyak remaja pada waktu itu. Karya Tagore ini memang karya sastra yang “tua”, namun salah satu keunggulan karya sastra adalah dapat menerobos pembatas zaman, karya yang bagus akan tetap dihargai sepanjang zaman.
Penyair-penyair muda Indonesia banyak dipengaruhi oleh Tagore, seperti Noto Soeroto, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Aoh K. Hadimadja. Studi mengenai seorang tokoh  dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan bisa menghasilkan berbagai jenis tinjauan mengenai jejak, kritik, penerimaan, dan masalah penerjemahan karya-karyanya dan sastra Indonesia tidak terlepas dari perkembangan sastra dunia.

Bagian Sembilan: Jejak Romantisme dalam Sastra Indonesia
Pada bagian Jejak Romantisme dalam Sastra Indonesia ini menjelaskan tentang perkembangan dan perluasan masuknya Romantisme di Indonesia. Gerakan Romantik di Barat merambat dari satu negeri ke negeri lain dengan mendukung kebebasan individu untuk berekspresi dan berimajinasi sesukanya.  Individualisme merupakan bagian penting dalam gerakan Romantik di Eropa. Tokoh yang erat hubungannya dengan gagasan individualisme adalah Napoleon Bonaparte. Kesusastraan Romantik mulai berkembang pada abad ke-18, berkiblat pada kebudayaan abad pertengahan yang lebih percaya pada iman dibandingkan zaman pencerahan yang bersandar pada logika. Jadi, Romantisme lebih berurusan dengan emosi ketimbang rasionalitas. Tokoh utama gerakan romantik yaitu William Wordsworth, menurutnya karya sastra merupakan luapan spontan dari perasaan yang menggebu-gebu.
Penyair Indonesia yang menganut aliran Romantisme ini antara lain adalah Sanusi Pane, dalam sajaknya disebutkan bahwa dalam hidup ini segala yang bernama kebudayaan, hasil budaya manusia, tidaklah ada artinya sama sekali dibandingkan perasaan yang ada di dalam hati sendiri.
Pada tahun 1930,  Alisjahbana beserta rekan-rekannya yaitu Ali Hasjmy, Sanusi Pane, dan Rustam Effendi aktif menulis berbagai puisi dan naskah drama  yang tidak terlepas dari aliran Romantisme namun disesuaikan dengan perkembangan sosial politik pada zaman itu, antara lain Nasionalisme. Perkembangan Nasionalisme mencapai puncaknya pada tahun  1928 ketika Sumpah Pemuda dicetuskan.
Romantisme tampak pada cerita rekaan dan drama yang diterbitkan pada masa itu, jika diperhatikan akan dapat diuraikan persamaan dan perbedaan antara kesusastraan kita dengan perkembangan kesusastraan Eropa pada abad ke-17 dan ke 18 tersebut.

Bagian Sepuluh: Gatoloco, Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan
Pada bagian Gatoloco, Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan ini menjelaskan tentang sebuah sajak modern Indonesia karya Goenawan Mohamad, yaitu Gatoloco yang dibandingkan dan sangat erat kaitannya dengan kitab klasik Jawa dengan judul yang sama. Sajak ini mengisahkan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurutnya ada lima jenis hubungan yang menjadi masalah utama bagi manusia, yaitu hubungan dengan Tuhan, alam, masyarakat, manusia, dan dirinya sendiri. Kitab Gatoloco ini dipinjam Goenawan Muhammad kemudian dimanfaatkan untuk mengungkapkan posisi manusia modern dihadapan Penciptanya.
Penggambaran latar, metafor, dan segala bentuk sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari yang digunakan Goenawan Mohamad mampu menjelaskan makna yang tersirat dalam kitab Gatoloco tersebut sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih baik  tentang sajak moderen ini dan posisi manusia serta hubungan dengan Sang Pencipta.

Bagian Sebelas: Alih Wahana
Pada bagian Alih Wahana ini menjelaskan tentang dalam karya sastra sering dijumpai perubahan kesatu jenis kesenian ke kesenian lain, misalnya cerita rekaan yang diubah menjadi tari, drama, atau film. Perubahan inilah yang disebut alih wahana.
Pada tahun 1950, sebuah grup ketoprak keliling yang berbahasa Jawa mengadakan pertunjukan tradisional dengan memerankan lakon Romeo dan Juliet karya Shakespare. Grup ketoprak tidak menggunakan naskah tertulis, semua yang terjadi merupakan improvisasi dari panggung. Karya Shakespare ini sangat diterima di berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia.
Alih wahana dari novel ke film memiliki perbedaan yang mendasar. Jika dalam novel kita hanya bisa berimajinasi terhadap tokoh-tokoh yang digambarkan oleh pengarang, namun pada film kita bisa melihat tokoh-tokoh yang digambarkan oleh pengarang. Tokoh yang digambarkan dalam novel terkadang sangat jauh berbeda dari film. Selain penggambaran tokoh, dialog merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan. Dialog dalam sebuah novel biasanya sangat panjang dan bertele-tele, namun tidak  berlaku pada film.
Di Indonesia alih wahana juga terjadi pada film, yaitu film diubah bentuknya ke novel. Artinya proses perubahan dari bahasa verbal ke bahasa tulis. Kasus alih wahana yang terjadi pada sastra Jawa merupakan prinsip penting, karena menyatakan bahwa karya sastra yang telah disadur, statusnya bukan lagi milik sastra sumber melainkan milik sastra bahasa sasaran.  

Bagian Dua Belas: Penutup
Pada bagian Penutup ini menjelaskan bahwa dalam penelitian sastra bandingan ada lima pendekatan yang biasa dilakukan, yakni tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan sastra dengan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan perubahan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.

C.    KOMENTAR
Buku Damono ini menjelaskan materi dengan menyertakan beragam contoh, sehingga penyampaian materinya terlihat dikemas dengan begitu rapi. Maka patut sekiranya untuk menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi untuk menambah teori tentang sastra bandingan.
Kemudian, penulis membandingkan buku ini dengan buku Endaswara yang berjudul Metode Penelitian Sastra Bandingan. Buku tersebut  terdiri atas sembilan bab serta daftar pustaka dan indeks.
Secara umum, kelebihan buku yang ditulis Endaswara dibandingkan dengan buku yang ditulis oleh Damono terletak pada penjelasan teori penelitian sastra bandingan. Endaswara lebih menjelaskan teori dengan rinci dan luas. Sangat berbeda dengan Damono yang hanya menjelaskan secara singkat dan lebih menyertai contoh untuk penjelasan tersebut.

D.    PENUTUP
Penulis dapat menyimpulkan bahwa buku yang ditulis oleh Damono maupun Endaswara memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan masing-masing. Akan tetapi yang terpenting dari semua itu, kedua buku tersebut layak menjadi acuan untuk menjadi dasar pencarian teori mengenai sastra bandingan. Karena keduanya memuat hal-hal yang cukup kompleks dan lengkap.
Saran dari penulis bagi buku yang ditulis Damono, yaitu perlunya penjelasan lebih lanjut mengenai beberapa teori yang dikemukakan oleh Damono. Sehingga, pembaca akan lebih cepat paham akan materi/teori yang dibahas
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Endaswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Buku Pop Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT).