Wednesday, November 23, 2016

Unsur Ekstrinsik Penunjang dalam Novel The Old Man And The Sea Karya Ernest Hemingway

UNSUR EKSTRINSIK PENUNJANG MENGENAI
NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL THE OLD MAN AND THE SEA 
KARYA ERNEST HEMINGWAY

Oleh: Andri Rizki


Novel The Old Man Ana The Sea atau lelaki tua dan laut bisa dikatakan salah satu novel yang legendaris dalam enam dekade terakhir. Novel Karya Ernest Hemingway ini dari pertama kali diterbitkan telah berhasil meraih 3 penghargaan kelas dunia, yaitu Pulitzer (1953), Award of Merit Medal for Novel (1953) dan Nobel Sastra (1954).
Novel ini berkisah tentang seorang lelaki tua bernama Santiago yang mengarungi lautan seorang diri.  Dari perjalanan lelaki tua itu terdapat banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa dipetik. salah satu nilai yang paling terlihat ialah nilai moral.
Mulai dari awal novel hingga akhir, nilai moral selalu muncul mendominasi. Yang pertama terlihat dari sikap masyarakat terhadap lelaki tua setelah tidak beruntung selama 84 hari. Kemudian, nilai ini muncul lagi pada saat lelaki tua mulai melaut di hari ke 85-nya. Nilai-nilai moral yang terkandung tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu moral baik dan moral buruk. Moral baik yaitu: (1) kesabaran, (2) rendah hati, (3) tidak putus asa. Moral buruk yaitu: (1) meremehkan orang lain, (2) mengambil hak orang lain, (3) ceroboh. Kemudian, selain nilai moral. Nilai lain seperti nilai keagamaan dan budaya juga tampak dalam novel ini.

A.      Nilai Moral
Nilai moral yang pertama yaitu mengenai moral baik, nilai moral itu terdiri dari kesabaran, rendah hati, dan tidak putus asa.

1.       Kesabaran 
Kesabaran ini ialah sikap seseorang yang tahan menghadapi cobaan atau ketenangan hati dalam menghadapi cobaan itu. Pada novel Lelaki tua dan laut ini. Nilai kesabaran muncul dari sikap tokoh utamanya yaitu Santiago dalam menghadapi berbagai konflik. Bermula dari sikap tenangnya dalam menerima pandangan sinis orang-orang sekitar. Hingga sikap sabarnya ketika ikan tangkapannya dimakan hiu hingga habis.
Santiago hidup dalam lingkungan nelayan, dalam 84 hari terakhir melaut ia selalu tidak beruntung. Tak satu pun ikan ia peroleh. Padahal, teman-teman sekitarnya selalu pulang membawa ikan yang besar satu atau dua. Hal itu membuat orang-orang sekitarnya berpandangan sinis terhadapnya dan ia tidak marah. Seperti pada kutipan berikut, “Mereka pun duduk di Teras dan banyak di antara para nelayan yang ada di sana mengejek lelaki tua itu, tetapi ia tidak marah.” (hal 3). Ditambah faktor umur yang sudah tua, dan ia juga tinggal sebatang kara. Karena itulah teman-temannya meremehkan Santiago dalam hal melaut. Seperti juga yang dikatakan ibu dari anak laki-laki bernama Manolin yang ikut menemaninya selama 40 hari pertama, “sekarang sudah jelas dan pasti bahwa lelaki itu Salao, yakni paling sial di antara yang sial,” (hal 1).
Santiago yang menerima pandangan dan sikap orang-orang itu hanya terus bersabar. Ia tak pernah membalas omongan orang-orang yang telah meremehkannya. Ia tak pernah memperlihatkan sikap benci terhadap orang yang telah mengatainya pembawa sial. Hal tersebut terlihat ketika Santiago tetap menyayangi anak laki-laki itu. Dikutip dalam novel “lelaki tua itu menatapnya dengan mata yang masak oleh terik matahari, yang yakin dan penuh rasa sayang.” (hal 4). Santiago tidak membenci anak itu, ia tetap bercengkrama dan membahas hal-hal yang biasa mereka bahas seperti biasa.
Moral kesabaran juga terlihat dari tokoh Santiago ketika ia ikhlas merelakan ikan tangkapannya dihabiskan oleh hiu. Setelah sekian lama ia berjuang mempertahankan ikan itu, maka dengan ikhlas ia harus merelakan perjuangannya. Terlihat dalam kutipan “kini ia berlayar dengan ringan dan padanya tak ada pikiran atau perasaan apa pun.” (hal 95). Di sana terlihat Santiago sangat pasrah dalam menghadapi cobaan yang ada.

2.       Rendah hati
Nilai moral lainnya yaitu rendah hati. Rendah hati sendiri berarti juga menghargai orang lain dengan tulus. Pada novel ini sifat-sifat rendah hati digambarkan oleh tokoh Santiago. Santiago yang sudah dikatai orang paling sial tetap menunjukkan sikapnya yang rendah hati. Terbukti ketika ia masih menerima tawaran anak laki-laki yang bernama Manolin itu. Walaupun ibu dari anak itu telah menjelek-jelekkan Santiago. Namun, Santiago tetap menghargai anak itu seperti sedia kala. Di dalam novel, bagaimana Santiago memiliki sifat rendah hati dikatakan secara langsung saat ia sedang bersama Manolin itu sendiri, seperti dalam kutipan berikut, “Pikirannya terlalu sederhana untuk mempertanyakan kapan ia beranda hati. Tetapi ia tahu bahwa ia telah beranda hati dan ia tahu bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang aib dan tidak menyebabkan kehilangan harga diri.” (hal 5).

3.       Tidak putus asa
Nilai moral berikutnya yang ada dalam novel ini ialah tidak mudah putus asa. Nilai ini tergambar dari perjuangan tokoh Santiago yang terus berusaha dan kembali berusaha. Tokoh Santiago yang tidak berhasil membawa ikan selama 84 hari berturut turut tidak membuatnya menyerah, ia tetap yakin dan terus menjalankan pekerjaannya. Santiago menganggap laut seperti seorang perempuan yang ia cintai, jadi setiap ia melaut ia akan merasa yakin dan percaya terhadapnya. Seperti dalam kutipan berikut, “Ia selalu menganggap laut sebagai la mar yakni nama yang diberikan orang-orang dalam bahasa Spanyol kalau mereka mencintainya. Kadang-kadang mereka yang mencintai suka mencaci-maki tetapi semua itu diucapkan seperti kepada seorang perempuan.” (hal 18). Hal tersebut membuat lelaki tua terus berjuang dan tak putus asa dalam mencari ikan di lautan. Pada hari ke 85-nya, ia yakin pada hari itu ia akan mendapatkan ikan. Dan terbukti ia mendapat ikan yang sangat besar. Bahkan besar ikan itu melebihi ukuran perahunya. Terlihat dalam kutipan, “Dua kaki lebih panjang daripada perahuku ini,” (hal 46).
Nilai moral mengenai tidak mudah putus asa lainnya tergambar ketika tokoh Santiago tetap setia meladeni perlawanan ikan hiu yang memakan ikan tangkapannya. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut, “Hadapi ikan-ikan itu, katanya. Akan kuhadapi sampai aku mati.” (hal 92). Santiago sangat berusaha mempertahankan ikan tangkapannya dari buasnya hiu dan ia tak terbesit mengalah hingga ia benar-benar kehilangan ikan tangkapannya.

Nilai moral yang kedua yaitu mengenai moral buruk, nilai moral itu terdiri dari meremahkan orang lain, mengambil hak orang lain, dan ceroboh.

1.       Meremehkan orang lain
Nilai moral yang bersangkutan dengan meremehkan orang lain tergambar pada saat nelayan-nelayan lain meremehkan tokoh utama novel ini. Para nelayan yang lain itu berpandangan bahwa tokoh Santiago tak layak lagi untuk melaut. Mereka seperti tidak memperhitungkannya dalam masyarakat. Terlihat ketika tokoh Santiago dan anak laki-laki pergi ke sebuah tempat bernama Teras untuk ditraktir bir oleh anak laki-laki itu. Dan orang-orang di sana mengejek lelaki tua itu. Terlihat pada kutipan, “Mereka pun duduk di Teras dan banyak di antara para nelayan yang ada di sana mengejek lelaki tua itu, tetapi ia tidak marah.” (hal 3).

2.       Mengambil hak orang lain
Pada novel lelaki tua dan laut nilai moral buruk yang selanjutnya ialah mengambil hak orang lain. Kita sangat dilarang untuk memakan atau mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Hal ini terlihat dari penggambaran ikan hiu yang terus memakan ikan tangkapan lelaki tua. itu merupakan gambaran yang bertujuan untuk melarang kita berbuat demikian. Lelaki tua yang telah bersusah payah berusaha menangkap ikan. Kemudian hiu satu persatu hingga menghabiskan tangkapan lelaki tua itu dengan mudah. Terlihat dalam kutipan berikut bagaimana akhirnya hiu-hiu itu menghabisi ikan tangkapannya, “Akhirnya, seekor hiu menyerang kepala ikannya dan tahulah ia bahwa kini semua selesai sudah.” (hal 94). Kutipan selanjutnya yang menggambarkan hal yang sama yaitu, “Malam itu beberapa ekor hiu menyerang sisa-sisa ikannya seperti tingkah orang yang mengumpulkan remah-remah dari meja makan.” (hal 95).

3.       Ceroboh
Nilai moral buruk yang selanjutnya yaitu ceroboh. Novel ini mengajarkan kita untuk selalu mempersiapkan diri untuk masa depan. Kecerobohan yang diperlihatkan oleh tokoh utama memberikan pelajaran kepada kita. Di dalam novel ini Santiago kurang memerhatikan hal-hal kecil namun dianggap penting dalam melaut. Kecerobohan itu terlihat seperti dalam kutipan berikut, “Kalau aku berotak mestinya tadi kupercik-percikkan air ke haluan sepanjang hari, dan kalau kering menjadi garam. Tetapi nyatanya lumba-lumba ini terkail setelah hampir senja. Meskipun begitu aku memang kurang persiapan.” (hal 61). Santiago terpaksa memakan ikan lumba-lumba itu mentah tanpa garam dan itu membuatnya merasa mual. Padahal jika ia sempoa mempunyai garam, hambarnya ikan lumba-lumba tadi tidak akan menimbulkan rasa mual saat dimakan.
Kemudian kecerobohannya yang lain yaitu ketika Santiago melawan ikan hiu yang datang untuk memangsa ikan tangkapannya. Di saat itu Santiago kekurangan persenjataan untuk melawan ikan hiu. Santiago harus menggunakan peralatan seadanya, seperti dalam kutipan berikut yang merupakan penyesalan atas kecerobohannya sendiri, “Meskinya tadi kubawa macam-macam perlengkapan.” (hal 87).

B.      Nilai Religius
Nilai Religius ialah nilai yang berkaitan dengan keagamaan. Pada novel ini nilai keagamaan diperlihatkan dari sikap tokoh utamanya yaitu Santiago. Dalam usahanya menangkap ikan di tengah lautan. Ia sama sekali tidak melupakan jika adanya pertolongan Tuhan. Ia berdoa dan berterima kasih terhadap pertolongan tuhan ketika ia berhasil memancing seekor ikan raksasa dan memperlihatkan dirinya. Terlihat dalam kutipan berikut, “aku bukan orang saleh, katanya, tetapi akan kuucapkan Bapa Kami sepuluh kali dan Salam Maria sepuluh kali kalau ikan ini tertangkap, dan aku aku berjanji untuk berziarah ke Perawan Cobre. Ini sebuah janji.” (hal 48).

C.      Nilai Budaya
Nilai budaya ialah nilai yang berkaitan dengan kebudayaan yang berlangsung di masyarakat. Pada novel lelaki tua dan laut ini nilai budaya yang digambarkan antara lain yaitu mudahnya mempercayai omongan seorang yang belum tentu benarnya. Seperti pada saat lelaki tua dikatakan seorang yang sial. Padahal hal tersebut belum tentu benar. Terlihat dalam kutipan, “Mereka pun duduk di Teras dan banyak di antara para nelayan yang ada di sana mengejek lelaki tua itu, tetapi ia tidak marah. Yang lain, yang lebih tua, memandang ke arahnya dan merasa kasihan. Tetapi mereka tidak memperlihatkan perasaan itu..” (hal3).
Kemudian, nilai budaya tergambar juga pada kebiasaan masyarakat yang suka meminum bir. mereka biasanya meminum bir di kedai minum. Seperti saat anak yang bernama Manolin mentraktir Santiago minum bir di Teras, “Mau kau kutraktir bir di Teras dan sesudah itu kita bawa pulang perlengkapan ini?” (hal 3). Kemudian juga terlihat di pantai yang banyak berserakan kaleng-kaleng bir kosong, “Sore hanya di Teras ada sekelompok turis dan seorang wanita memandang ke bawah dan dalam air, di antara kaleng-kaleng bir kosong dan bangkai-bangkai ikan barracuda,” (hal 101).

Monday, November 7, 2016

Unsur Ekstrinsik Utama dalam Novel Saman Karya Ayu Utami

    
     UNSUR EKSTRINSIK UTAMA DALAM NOVEL SAMAN

Oleh: Andri Rizki




           Saman adalah novel pertama karya Ayu Utami yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada bulan April 1998. Novel ini berkisah tentang seorang mantan pastur bernama Saman dan empat perempuan yang bersahabat dari kelas enam SD sampai mereka dewasa, yaitu Yasmin Moningka, Shakuntala, Cokorda, dan Laila. Novel Saman pada awalnya direncanakan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami, Laila Tak Mampir di New York namun kemudian karya tersebut diterbitkan menjadi dwilogi Saman dan Larung.
         pada kesempatan kali ini saya akan membahas unsur ektrinsik utama yang terdapat pada novel ini.


    A.    Pengarang

Ayu Utami yang mempunyai nama lengkap Justina Ayu Utami  dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga Katolik.

Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995)  dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999).  Ayu menggemari cerita petualangan,  seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin.  Selain itu,  ia  menyukai  musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.

Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan  bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R.  Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif  menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator.  Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.

Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya adalah  Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya, Saman dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.

    B.     Sensitivitas Pengarang

Sensitivitas atau kepekaan pengarang dalam sebuah karya akan mempengaruhi bagaimana bentuk karya itu sendiri. Dalam novel saman kita dapat melihat Ayu Utami sangat menonjolkan unsur ini. Tergambar pada hal yang diangkatnya dalam novel ini adalah hal yang tabu untuk diperbincangkan. Berdasarkan realitas yang ada pada masyarakat pada tahun novel ini diterbitkan, Ayu mencoba mengusik dan memberontak hal-hal yang selama ini tidak sesuai dengan yang diinginkannya.

Terlihat dalam novel Saman saat Ayu menggambarkan tokoh Shakuntala seolah-olah telah meniadakan doktrin yang selama ini berkembang di masyarakat. Shakuntala menganggap keperawanan sebuah ketidakadilan yang diciptakan Tuhan bagi perempuan. Sangat berbeda dengan pandangan masyarakat pada umumnya bahwa keperawanan itu harus dijaga dan tidak diberikan pada orang sembarangan.

Kemudian, terdapat hal lain yang diangkat Ayu dalam saman yang mengunggah kepekaan pengarang yaitu permasalahan intoleransi dalam agama. Ayu dalam tokoh-tokohnya sangat menonjolkan sikap intoleransi tersebut. Permasalahan-permasalahan yang ada dalam agama yang menggugah hati Ayu di ekspresikannya melalui tokoh-tokoh tertentu.

Yang terakhir permasalahan politik yang selalu menjadi isu hebat dalam kehidupan pada saat penciptaan novel saman sendiri, ditonjolkan Ayu dengan memprotes dan menyindir melalui permasalahan-permasalahan mengenai ketidakadaanya keadilan.

    C.     Imajinasi Pengarang

Dalam novel saman sangat tampak imajinasi Ayu sangat liar. Seperti pada penggambaran tokoh Shakuntala waktu kecil, Ayu menceritakan tokoh tersebut mempunyai pikiran yang luas daripada anak seumurannya. Ayu menggambarkan sebuah imajinasi yang kuat yang tertuang dalam pikiran tokoh Shakuntala tersebut. Kemudian, imajinasi Ayu dalam hal yang berbau seks sangat kuat. Tergambar pada bagian akhir novel yang menggambarkan peristiwa-peristiwa tersebut.

Keliaran imajinasi ayu tersebut mempengaruhi bentuk novel yang ia ciptakan. Seperti dalam sama yang menonjolkan banyak unsur seks dan agama. Dan imajinasi yang dimiliki ayu membawa kekaguman bagi pembaca karena telah berani menceritakan hal-hal tabu dalam masyarakat.

    D.    Intelektual Pengarang

Terdapat beberapa pemikiran pengarang yang muncul dalam novel saman ini.

Seperti yang pertama yaitu kritik terhadap pemerintah orde baru. Dalam novel ini pengarang mengungkapkan betapa tidak dianggapnya rakyat kecil jika telah berurusan dengan orang yang berkuasa di negeri ini. Ayu juga menyinggung permasalahan keterpencilan masyarakat di pelosok desa.

Selanjutnya permasalahan hak asasi manusia merupakan salah satu yang ditonjolkan oleh Ayu dalam Saman. Ayu menganggap semua manusia harusnya diperlakukan dengan perlakuan yang sama. Hal tersebut tergambar saat tokoh Upi yang merupakan orang gila diperlakukan baik oleh tokoh Wis.  Dan di sana terlihat jelas pemikiran Ayu untuk membela hak asasi manusia.

Kemudian, Ayu mengangkat permasalahan seksualitas, di dalam Saman kita melihat Ayu mencoba memberikan pandangannya mengenai hal tersebut. Melalui tokohnya Shakuntala, Ayu mencoba menceritakan bagaimana pemikiran-pemikiran “kiri” dari wanita.

    E.     Pandangan hidup

Novel saman menyuguhkan beberapa pandangan hidup.

Seperti yang pertama terlihat pada tokoh Sihar dan Saman yang mempunyai pandangan untuk menyejahterakan rakyat kecil. Sihar berusaha mengangkat derajat rakyat kecil saat melawan penguasa. Sedangkan Saman, ia tampak menyejahterakan rakyat kecil dengan ilmu yang ia peroleh sewaktu kuliah di IPB. Saman mencoba membangkitkan semangat masyarakat untuk terus  berusaha dan bekerja keras terhadap perkebunannya sendiri


Kemudian yang kedua pandangan penguasa yang sewenang-wenang tergambar jelas pada tokoh Rosano, ia melihat rakyat kecil dengan sepele. Tidak ada bela kasihan atas perbuatannya sendiri. Rosano menganggap semua hal bisa diatur dengan kekuasaan dan uang.