UNSUR EKSTRINSIK PENUNJANG MENGENAI
NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL THE OLD MAN AND THE SEA
KARYA ERNEST HEMINGWAY
Oleh: Andri Rizki

Novel The Old Man Ana The Sea atau lelaki tua
dan laut bisa dikatakan salah satu novel yang legendaris dalam enam dekade
terakhir. Novel Karya Ernest Hemingway ini dari pertama kali diterbitkan telah
berhasil meraih 3 penghargaan kelas dunia, yaitu Pulitzer (1953), Award of
Merit Medal for Novel (1953) dan Nobel Sastra (1954).
Novel ini
berkisah tentang seorang lelaki tua bernama Santiago yang mengarungi lautan
seorang diri. Dari perjalanan lelaki tua
itu terdapat banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa dipetik. salah satu nilai
yang paling terlihat ialah nilai moral.
Mulai dari
awal novel hingga akhir, nilai moral selalu muncul mendominasi. Yang pertama terlihat dari sikap masyarakat
terhadap lelaki tua setelah tidak beruntung selama 84 hari. Kemudian, nilai ini
muncul lagi pada saat lelaki tua mulai melaut di hari ke 85-nya. Nilai-nilai
moral yang terkandung tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu moral baik dan
moral buruk. Moral baik yaitu: (1) kesabaran, (2) rendah hati, (3) tidak putus
asa. Moral buruk yaitu: (1) meremehkan orang lain, (2) mengambil hak orang lain,
(3) ceroboh. Kemudian, selain nilai moral. Nilai lain seperti nilai keagamaan
dan budaya juga tampak dalam novel ini.
A.
Nilai Moral
Nilai moral yang pertama yaitu mengenai
moral baik, nilai moral itu terdiri dari kesabaran, rendah hati, dan tidak
putus asa.
1.
Kesabaran
Kesabaran ini
ialah sikap seseorang yang tahan menghadapi cobaan atau ketenangan hati dalam
menghadapi cobaan itu. Pada novel Lelaki tua dan laut ini. Nilai kesabaran
muncul dari sikap tokoh utamanya yaitu Santiago dalam menghadapi berbagai
konflik. Bermula dari sikap tenangnya dalam menerima pandangan sinis
orang-orang sekitar. Hingga sikap sabarnya ketika ikan tangkapannya dimakan hiu
hingga habis.
Santiago hidup
dalam lingkungan nelayan, dalam 84 hari terakhir melaut ia selalu tidak
beruntung. Tak satu pun ikan ia peroleh. Padahal, teman-teman sekitarnya selalu
pulang membawa ikan yang besar satu atau dua. Hal itu membuat orang-orang
sekitarnya berpandangan sinis terhadapnya dan ia tidak marah. Seperti pada
kutipan berikut, “Mereka pun duduk di Teras dan banyak di antara para nelayan
yang ada di sana mengejek lelaki tua itu, tetapi ia tidak marah.” (hal 3). Ditambah
faktor umur yang sudah tua, dan ia juga tinggal sebatang kara. Karena itulah teman-temannya
meremehkan Santiago dalam hal melaut. Seperti juga yang dikatakan ibu dari anak
laki-laki bernama Manolin yang ikut menemaninya selama 40 hari pertama,
“sekarang sudah jelas dan pasti bahwa lelaki itu Salao, yakni paling sial di
antara yang sial,” (hal 1).
Santiago yang
menerima pandangan dan sikap orang-orang itu hanya terus bersabar. Ia tak
pernah membalas omongan orang-orang yang telah meremehkannya. Ia tak pernah
memperlihatkan sikap benci terhadap orang yang telah mengatainya pembawa sial.
Hal tersebut terlihat ketika Santiago tetap menyayangi anak laki-laki itu. Dikutip
dalam novel “lelaki tua itu menatapnya dengan mata yang masak oleh terik
matahari, yang yakin dan penuh rasa sayang.” (hal 4). Santiago tidak membenci
anak itu, ia tetap bercengkrama dan membahas hal-hal yang biasa mereka bahas
seperti biasa.
Moral
kesabaran juga terlihat dari tokoh Santiago ketika ia ikhlas merelakan ikan
tangkapannya dihabiskan oleh hiu. Setelah sekian lama ia berjuang
mempertahankan ikan itu, maka dengan ikhlas ia harus merelakan perjuangannya.
Terlihat dalam kutipan “kini ia berlayar dengan ringan dan padanya tak ada
pikiran atau perasaan apa pun.” (hal 95). Di sana terlihat Santiago sangat
pasrah dalam menghadapi cobaan yang ada.
2.
Rendah hati
Nilai moral
lainnya yaitu rendah hati. Rendah hati sendiri berarti juga menghargai orang
lain dengan tulus. Pada novel ini sifat-sifat rendah hati digambarkan oleh
tokoh Santiago. Santiago yang sudah dikatai orang paling sial tetap menunjukkan
sikapnya yang rendah hati. Terbukti ketika ia masih menerima tawaran anak
laki-laki yang bernama Manolin itu. Walaupun ibu dari anak itu telah
menjelek-jelekkan Santiago. Namun, Santiago tetap menghargai anak itu seperti
sedia kala. Di dalam novel, bagaimana Santiago memiliki sifat rendah hati
dikatakan secara langsung saat ia sedang bersama Manolin itu sendiri, seperti
dalam kutipan berikut, “Pikirannya terlalu sederhana untuk mempertanyakan kapan
ia beranda hati. Tetapi ia tahu bahwa ia telah beranda hati dan ia tahu bahwa
hal itu bukanlah sesuatu yang aib dan tidak menyebabkan kehilangan harga diri.”
(hal 5).
3.
Tidak putus asa
Nilai moral
berikutnya yang ada dalam novel ini ialah tidak mudah putus asa. Nilai ini
tergambar dari perjuangan tokoh Santiago yang terus berusaha dan kembali
berusaha. Tokoh Santiago yang tidak berhasil membawa ikan selama 84 hari
berturut turut tidak membuatnya menyerah, ia tetap yakin dan terus menjalankan
pekerjaannya. Santiago menganggap laut seperti seorang perempuan yang ia
cintai, jadi setiap ia melaut ia akan merasa yakin dan percaya terhadapnya.
Seperti dalam kutipan berikut, “Ia selalu menganggap laut sebagai la mar yakni nama yang diberikan
orang-orang dalam bahasa Spanyol kalau mereka mencintainya. Kadang-kadang
mereka yang mencintai suka mencaci-maki tetapi semua itu diucapkan seperti
kepada seorang perempuan.” (hal 18). Hal tersebut membuat lelaki tua terus
berjuang dan tak putus asa dalam mencari ikan di lautan. Pada hari ke 85-nya,
ia yakin pada hari itu ia akan mendapatkan ikan. Dan terbukti ia mendapat ikan
yang sangat besar. Bahkan besar ikan itu melebihi ukuran perahunya. Terlihat
dalam kutipan, “Dua kaki lebih panjang daripada perahuku ini,” (hal 46).
Nilai moral
mengenai tidak mudah putus asa lainnya tergambar ketika tokoh Santiago tetap
setia meladeni perlawanan ikan hiu yang memakan ikan tangkapannya. Seperti yang
tergambar dalam kutipan berikut, “Hadapi ikan-ikan itu, katanya. Akan kuhadapi
sampai aku mati.” (hal 92). Santiago sangat berusaha mempertahankan ikan
tangkapannya dari buasnya hiu dan ia tak terbesit mengalah hingga ia benar-benar
kehilangan ikan tangkapannya.
Nilai moral
yang kedua yaitu mengenai moral buruk, nilai moral itu terdiri dari meremahkan
orang lain, mengambil hak orang lain, dan ceroboh.
1.
Meremehkan orang lain
Nilai moral
yang bersangkutan dengan meremehkan orang lain tergambar pada saat nelayan-nelayan
lain meremehkan tokoh utama novel ini. Para nelayan yang lain itu berpandangan
bahwa tokoh Santiago tak layak lagi untuk melaut. Mereka seperti tidak
memperhitungkannya dalam masyarakat. Terlihat ketika tokoh Santiago dan anak
laki-laki pergi ke sebuah tempat bernama Teras untuk ditraktir bir oleh anak
laki-laki itu. Dan orang-orang di sana mengejek lelaki tua itu. Terlihat pada
kutipan, “Mereka pun duduk di Teras dan banyak di antara para nelayan yang ada
di sana mengejek lelaki tua itu, tetapi ia tidak marah.” (hal 3).
2.
Mengambil hak orang lain
Pada novel
lelaki tua dan laut nilai moral buruk yang selanjutnya ialah mengambil hak
orang lain. Kita sangat dilarang untuk memakan atau mengambil sesuatu yang
bukan milik kita. Hal ini terlihat dari penggambaran ikan hiu yang terus
memakan ikan tangkapan lelaki tua. itu merupakan gambaran yang bertujuan untuk
melarang kita berbuat demikian. Lelaki tua yang telah bersusah payah berusaha
menangkap ikan. Kemudian hiu satu persatu hingga menghabiskan tangkapan lelaki
tua itu dengan mudah. Terlihat dalam kutipan berikut bagaimana akhirnya hiu-hiu
itu menghabisi ikan tangkapannya, “Akhirnya, seekor hiu menyerang kepala
ikannya dan tahulah ia bahwa kini semua selesai sudah.” (hal 94). Kutipan selanjutnya
yang menggambarkan hal yang sama yaitu, “Malam itu beberapa ekor hiu menyerang sisa-sisa
ikannya seperti tingkah orang yang mengumpulkan remah-remah dari meja makan.”
(hal 95).
3.
Ceroboh
Nilai moral
buruk yang selanjutnya yaitu ceroboh. Novel ini mengajarkan kita untuk selalu
mempersiapkan diri untuk masa depan. Kecerobohan yang diperlihatkan oleh tokoh
utama memberikan pelajaran kepada kita. Di dalam novel ini Santiago kurang
memerhatikan hal-hal kecil namun dianggap penting dalam melaut. Kecerobohan itu
terlihat seperti dalam kutipan berikut, “Kalau aku berotak mestinya tadi
kupercik-percikkan air ke haluan sepanjang hari, dan kalau kering menjadi
garam. Tetapi nyatanya lumba-lumba ini terkail setelah hampir senja. Meskipun begitu
aku memang kurang persiapan.” (hal 61). Santiago terpaksa memakan ikan lumba-lumba
itu mentah tanpa garam dan itu membuatnya merasa mual. Padahal jika ia sempoa mempunyai
garam, hambarnya ikan lumba-lumba tadi tidak akan menimbulkan rasa mual saat
dimakan.
Kemudian kecerobohannya
yang lain yaitu ketika Santiago melawan ikan hiu yang datang untuk memangsa
ikan tangkapannya. Di saat itu Santiago kekurangan persenjataan untuk melawan
ikan hiu. Santiago harus menggunakan peralatan seadanya, seperti dalam kutipan
berikut yang merupakan penyesalan atas kecerobohannya sendiri, “Meskinya tadi
kubawa macam-macam perlengkapan.” (hal 87).
B.
Nilai Religius
Nilai Religius
ialah nilai yang berkaitan dengan keagamaan. Pada novel ini nilai keagamaan
diperlihatkan dari sikap tokoh utamanya yaitu Santiago. Dalam usahanya
menangkap ikan di tengah lautan. Ia sama sekali tidak melupakan jika adanya
pertolongan Tuhan. Ia berdoa dan berterima kasih terhadap pertolongan tuhan
ketika ia berhasil memancing seekor ikan raksasa dan memperlihatkan dirinya.
Terlihat dalam kutipan berikut, “aku bukan orang saleh, katanya, tetapi akan
kuucapkan Bapa Kami sepuluh kali dan Salam Maria sepuluh kali kalau ikan ini
tertangkap, dan aku aku berjanji untuk berziarah ke Perawan Cobre. Ini sebuah
janji.” (hal 48).
C.
Nilai Budaya
Nilai budaya
ialah nilai yang berkaitan dengan kebudayaan yang berlangsung di masyarakat.
Pada novel lelaki tua dan laut ini nilai budaya yang digambarkan antara lain yaitu mudahnya mempercayai omongan seorang
yang belum tentu benarnya. Seperti pada saat lelaki tua dikatakan seorang yang
sial. Padahal hal tersebut belum tentu benar. Terlihat dalam kutipan, “Mereka
pun duduk di Teras dan banyak di antara para nelayan yang ada di sana mengejek
lelaki tua itu, tetapi ia tidak marah. Yang lain, yang lebih tua, memandang ke
arahnya dan merasa kasihan. Tetapi mereka tidak memperlihatkan perasaan itu..” (hal3).
Kemudian, nilai budaya tergambar juga pada
kebiasaan masyarakat yang suka meminum bir. mereka biasanya meminum bir di
kedai minum. Seperti saat anak yang bernama Manolin mentraktir Santiago minum
bir di Teras, “Mau kau kutraktir bir di Teras dan sesudah itu kita bawa pulang
perlengkapan ini?” (hal 3). Kemudian juga terlihat di pantai yang banyak
berserakan kaleng-kaleng bir kosong, “Sore hanya di Teras ada sekelompok turis
dan seorang wanita memandang ke bawah dan dalam air, di antara kaleng-kaleng
bir kosong dan bangkai-bangkai ikan barracuda,” (hal 101).